Kitabul Jami’ Hadits 14 – Adab Berpakaian (Hukum Isbal)
Oleh: DR. Firanda Andirja, Lc. MA
Dari Ibnu ‘Umar radhiyallāhu Ta’ālā ‘anhumā beliau berkata: Rasūlullāh shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
لَا يَنْظُرُ الله إِلَى مَنْ جَرَّ ثَوْبَهُ خُيَلَاءَ .مُتَّفَقٌ عَلَيْه
“Allāh tidak akan memandang orang yang menyeret (menjulurkan pakaiannya hingga terseret) pakaiannya karena sombong.”
(Muttafaqun ‘alaih, HR. Imām Bukhāri dan Imām Muslim)
Diantara kesempurnaan Islam adalah mengajarkan adab dalam segala hal, sampai juga dalam adab berpakaian. Jangan sampai seorang muslim memakai pakaian yang menarik perhatian (sehingga dilaranglah pakaian syuhroh), atau pakaian yang terlalu mahal sehingga bisa menimbulkan kesombongan, atau pakaian yang terbuat dari sutra bagi kaum lelaki karena sutra identik dengan kelembutan dan keindahan yang merupakan pusat perhatian wanita bukan lelaki, atau pakaian yang menyerupai pakaian lawan jenis, dan lain-lain.
Diantara adab berpakaian bagi lelaki adalah larangan melakukan isbal (yaitu menjulurkan pakaian lebih dari mata kaki). Hadits-hadits tentang larangan berisbal telah mencapai derajat mutawatir maknawi, lebih dari dua puluh sahabat meriwayatkannya (lihat risalah Syaikh Bakr Abu Zaid yang berjudul Hadduts Tsaub hal 18)
Lafazh “tsaub” (pakaian) pada lafal hadits yang sedang kita bahas مَنْ جَرَّ ثَوْبَهُ (orang yang menyeret/menjulurkan -sehingga terseret- pakaiannya) adalah bermakna umum, yaitu kullu mā yulbas (setiap yang dipakai), mencakup sarung, celana, jubah, atau pakaian apa saja. Semuanya dilarang untuk dipakai jika panjang dan terseret di atas tanah yang dilakukan karena sombong. Orang yang melakukan demikian maka Allāh tidak akan melihatnya.
Dalam riwayat disebutkan, “Allāh tidak akan melihat dia pada hari kiamat”, artinya Allāh tidak akan melihat dia dengan pandangan rahmat (kasih sayang). Padahal kita tahu bahwa hari kiamat adalah hari yang sangat dahsyat dan sangat mengerikan. Pada hari itu seseorang sangat butuh dengan kasih sayang (rahmat) Allāh Subhānahu wa Ta’ālā. Sementara orang yang isbal karena sombong tidak akan diperdulikan oleh Allāh Subhānahu wa Ta’ālā. Ini adalah dalil bahwasanya isbal karena sombong merupakan dosa besar. Para ulama sepakat tentang keharaman isbal yang dilakukan karena sombong.
Dalam hadits yang lain:
عَنْ أَبِي ذَرٍّ عَنْ النَّبِيِّ قَالَ :” ثَلَاثَةٌ لا يُكَلِّمُهُمُ اللهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلا يَنْظُرُ إِلَيْهِمْ وَلا يُزَكِّيْهِمْ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلٍيْمٌ”,قَالَ :فَقَرَأَهَا رَسُوْلُ اللهِ ثَلاثَ مِرَارٍ .قَالَ أَبُوْ ذَرٍّ :”خَابُوا وَ خَسِرُوْا. مَنْ هُمْ يَا رَسُوْلَ اللهِ؟ قَالَ :”المُسْبِلُ وَالْمَنَّانُ وَالْمُنْفِقُ سِلْعَتَهُ بِالْحَلْفِ الْكَاذِبِ”
Dari Abu Dzar dari Nabi, beliau bersabda :”Tiga golongan yang tidak akan diajak komunikasi oleh Allah pada hari Kiamat dan tidak dilihat dan tidak (juga) disucikan dan bagi mereka adzab yang pedih. ” Abu Dzar menceritakan, “Rasulullah mengulanginya sampai tiga kali. “, “Sungguh merugi mereka, siapakah mereka wahai Rasulullah ?” tanya Abu Dzar. Nabi menjawab: “Orang yang isbal, orang yang mengungkit-ngungkit sedekahnya dan penjual yang bersumpah palsu.” (HR Muslim I/102 no 106)
Walaupun kalimat musbil mutlaq dalam hadits ini, namun para ulama sepakat maknanya membidik isbal yang dikuti perasaan sombong. Alasannya, adanya kesamaan hukum (tidak dilihat oleh Allah pada hari kiamat) sebagaimana ditunjukkan kandungan hadits Ibnu Umar yang lalu.
عَنْ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ قَالَ: “بَيْنَا رَجُلٌ يَجُرُّ إِزَارَهُ إِذْ خُسِفَ بِهِ, فَهُوَ يَتَجَلْجَلُ فِي الأَرْضِ إِلَ يَوْمِ الْقِيَامَةِ
Dari Ibnu Umar, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alihi wa sallam bersabda: “Tatkala seorang laki-laki sedang mengisbal sarungnya, tiba-tiba bumi terbelah bersamanya., Maka diapun berguncang-guncang, tenggelam di dalam bumi hingga hari Kiamat” (HR. Bukhari no: 5790)
Adapun isbal yang dilakukan tanpa niat sombong, melainkan hanya sekedar mengikuti gaya berpakaian, maka terjadi khilaf di antara para ulama.
Jumhur (mayoritas) ulama mengatakan bahwa isbal yang dilakukan tanpa diserta kesombongan hukumnya adalah makruh, tidak sampai derajat haram. Mereka beralasan bahwa sebab (‘illah) pengharaman isbal oleh Allāh Subhānahu wa Ta’ālā adalah karena sombong. Sehingga, apabila ternyata kesombongan tersebut tidak menyertai hati orang yang berbuat isbal, maka hukumnya hanya sampai kepada derajat makruh, tidak sampai pada derajat haram. Inilah pendapat kebanyakan ulama Syāfi’īyyah seperti Imām Syāfi’ī, Imām Nawawi, dan yang lainnya.
Sementara itu, sebagian ulama memandang bahwasanya meskipun isbal dilakukan tidak karena sombong, maka hukumnya tetap haram secara mutlak. Ini merupakan pendapat madzhab Hanbali dan juga pendapat dipilih oleh Al-Qādhi ‘Iyaadh, Ibnul ‘Arabi dari madzhab Malikiyyah, dan juga pendapat Al-Hafizh Ibnu Hajar dari madzhab Syāfi’īyyah. Pendapat ini juga dipilih oleh para ulama zaman sekarang seperti Syaikh Al-Albani, Syaikh Abdul ‘Aziz Bin Bāz, dan Syaikh Shalih Al-‘Utsaimin rahimahumullāhu Ta’ālā.
Jika kita perhatikan dari sisi pendalilan, dalil-dalil yang mengatakan bahwa isbal dihukumi haram secara mutlak adalah lebih kuat. Di antara dalil-dalil tersebut adalah sebagai berikut.
Pertama, Hadits Rasūlullāh shallallahu ‘alaihi wasallam yang mengatakan,
فَإِنَّ إِسْبَالَ الإِزَارِ مِنَ الْمَخِيلَةِ
“Sesungguhnya isbal adalah termasuk dari kesombongan.” (HR. Abū Dāwūd, Tirmidzi dan Imām Ahmad, dengan sanad yang hasan)
Jadi, menurut hadits ini isbal itu sendiri sudah termasuk kesombongan.
Ibnul ‘Arabi menggariskan, “Seseorang tidak boleh menjulurkan pakaiannya melewati mata kakinya kemudian berkilah : “Saya tidak menjulurkannya karena kesombongan”. Karena larangan (dalam hadits) telah mencakup dirinya. Seseorang yang secara hukum terjerat dalam larangan, tidak boleh berkata (membela diri), saya tidak mengerjakannya karena ‘illah (sebab) larangan pada hadits (yaitu kesombongan) tidak muncul pada diri saya. Hal seperti ini adalah klaim (pengakuan) yang tidak bisa diterima, sebab tatkala dia memanjangkan ujung pakaiannya sejatinya orang tadi menunjukan karakter kesombongannya.”
Usai menukil ungkapan Ibnu ‘Arabi di atas, Ibnu Hajar menetapkan : “Kesimpulannya, isbal berkonsekuensi (melazimkan) pemanjangan pakaian. Memanjangkan pakaian berarti (unjuk) kesombongan walaupun orang yang memakai pakaian tersebut tidak berniat sombong.” (Fathul Baari 10/325)
Ada hadits-hadits lain yang menunjukkan bahwa Nabi melarang isbal secara mutlak. Diantaranya :
Dari Al-Mugiroh bin Syu’bah berkata, ” Rasulullah shallallahu ‘alihi wa sallam berkata:
يَا سُفْيَانُ بنِ سَهْلٍ لا تُسْبِلْ فَإِنَّ اللهَ لا يُحِبُّ الْمُسْبِلِيْنَ
“Wahai Sufyan bin Sahl, Janganlah engkau isbal!. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang isbal.” (HR Ibnu Majah II/1183 no 3574 dan dihasankan oleh Syaikh Al-Albani dalam As-Shahihah no 4004)
Dan hadits Hudzaifah, berkata, “Rasulullah memegangi betisnya dan berkata: “Ini adalah tempat sarung (pakaian bawah), jika engkau enggan maka turunkanlah, فَإِنْ أَبَيْتَ فَلا حَقَّ لِلإِزَارِ فِي الْكَعْبَيْنِ dan jika enggau enggan maka tidak ada haq bagi sarung di kedua mata kaki.”( HR At-Thirmidzi III/247 no 1783, Ibnu Majah II/1182 no 3572, dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam As-Shahihah V/481 no 2366).
Berdasarkan tekstual (dlohir) hadits ini, izar (pakaian bawah) tidak boleh diletakkan di mata kaki secara mutlaq, baik karena sombong atau tidak. (lihat As-Shahihah 6/409)
Berkata Nabi shallallahu ‘alihi wa sallam,
نِعْمَ الَّرجُلُ خَرِيْم الأَسَدِي لَوْلا طُوْلُ جُمَّتِهِ وَإِسْبَالُ إِزَارِه
“Sebaik-baik orang adalah Khorim Al-Asadi, kalau bukan karena panjangnya jummahnya dan sarungnya yang isbal.“[1]
Kedua, Rasūlullāh shallallahu ‘alaihi wasallam ketika menegur sebagian shahābat agar tidak berbuat isbal (untuk mengangkat sarung mereka di atas mata kaki), Rasūlullāh tidak pernah bertanya kepada mereka terlebih dahulu, “Apakah kau melakukannya karena sombong atau tidak? Kalau kau melakukannya karena sombong maka angkat, kalau tidak karena sombong maka tidak usah angkat.”
Kesombongan adalah masalah hati. Adapun Rasūlullāh shallallahu ‘alaihi wasallam ketika menegur para shahābat yang berbuat isbal untuk mengangkat kainnya sampai di atas mata kaki tidak pernah menanyakan masalah kesombongan ini kepada mereka. Siapa saja ditegur oleh Nabi. Padahal para sahabat adalah generasi terbaik yang jauh dari sifat kesombongan.
عَنْ عَمْرٍو بْنِ الشَّرِيْدِ قَالَ: أَبْعَدَ رَسُوْلُ اللهِ رَجُلاً يَجُرُّ إِزَارَهُ فَأَسْرَعَ إِلَيْهِ, أَوْ هَرْوَلَ فَقَالَ: “اِرْفَعْ إِزَارَكَ وَاتَّقِ اللهَ!” قَالَ:”إِنيِّ أَحْنَفَ تَصْطَلِكُ رُكْبَتَايَ, فَقَالَ: “اِرْفَعْ إِزَارَكَ فَإِنَّ كُلَّ خَلْقِ اللهِ حَسَنٌ”. فَمَا رُئِيَ ذَلِكَ الرَّجُلُ بَعْدُ إِلاَّ إِزَارُهُ يُصِيْبُ أَنْصَافَ سَاقَيْهِ أَوْ إِلَى أَنْصَافَ سَاقَيْهِ
Dari ‘Amr bin Syarid, berkata, “Rasulullah melihat dari jauh seseorang yang menyeret sarungnya (di tanah) maka Nabi pun bersegera segera atau berlari kecil untuk menghampirinya. Lalu beliau berkata, “Angkatlah sarungmu dan bertakwalah kepada Allah!” Maka orang tersebut memberitahu, “Kaki saya cacat (kaki x-pen), kedua lututku saling menempel.” Nabi shallallahu ‘alihi wa sallam tetap memerintahkan, “Angkatlah sarungmu. Sesungguhnya seluruh ciptaan Allah indah.” (Setelah itu) orang tersebut tidak pernah terlihat lagi kecuali sarungnya sebatas pertengahan kedua betisnya.” (HR. Ahmad IV/390 no 19490, 19493 dan At-Thobrooni di Al-Mu’jam Al-Kabiir VII/315 no 7238, VII/316 no 7241. Berkata Al-Haitsami dalam Majma’ Az-Zawa’id V/124, “Dan para perawi Ahmad adalah para perawi As-Shahih”. Lihat Silsilah As-Shahihah no:1441)
Hadits ini dengan kasat mata menegaskan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alihi wa sallam tetap memerintahkan orang ini meski isbal bukan timbul dari rasa congkak, tetapi hanya bertujuan untuk menutupi kekurangannya (cacat). Bahkan Rasulullah tidak memberinya udzur. Bagaimana dengan kaki kita yang tidak cacat…? tentunya kita malu dengan sahabat orang tersebut yang rela terlihat cacatnya demi melaksanakan sunnah Nabi shallallahu ‘alihi wa sallam.
Sombong adalah masalah hati. Saat menegur orang yang isbal sebagaimana yang dipraktekan oleh Rasulullah shallallahu ‘alihi wa sallam demikian juga para sahabat, mereka tidak pernah sama sekali bertanya sebelum menegur: “Apakah engkau melakukannya karena sombong? Kalau tidak, no problem. Kalau benar lantaran sombong, angkat celanamu!” Seandainya isbal tanpa diiringi sombong diijinkan, artinya tatkala menegur orang yang isbal seakan-akan Rasulullah shallallahu ‘alihi wa sallam sedang menuduhnya sombong. Demikian juga para sahabat tatkala menegur orang yang isbal berarti telah menuduhnya sombong. Padahal kesombongan tempatnya di hati, sesuatu yang sama sekali tidak diketahui oleh Rasulullah shallallahu ‘alihi wa sallam dan para sahabat.
Rasulullah shallallahu ‘alihi wa sallam bersabda:
إِنِّي لَمْ أُوْمَرْ أَنْ أُنَقِّبَ قُلُوْبَ النَّاسِ
Artinya: “Sesungguhnya aku tidak diperintah untuk mengorek isi hati manusia .” (HR :Bukhari no 4351)
Syaikh Bakr Abu Zaid berargumen, “Kalau larangan isbal hanya bertautan dengan sikap sombong, tidak terlarang secara mutlak, maka pengingkaran terhadap isbal tidak boleh sama sekali, karena kesombongan merupakan amalan hati. Padahal telah terbukti pengingkaran (Rasulullah shallallahu ‘alihi wa sallam dan para sahabat) terhadap orang yang isbal tanpa mempertimbangkan motivasi pelakunya. (sombong atau tidak).” (Haduts Tsaub hal 22)
Ibnu Umar bercerita, “Saya melewati Rasulullah dan sarungku isbal, maka Rasulullah shallallahu ‘alihi wa sallam berkomentar: “Wahai Abdullah, angkat sarungmu!“. Aku pun mengangkatnya. “Angkat lagi!”,kata beliau lagi. Maka aku pun tambah mengangkatnya. Setelah itu, aku selalu memperhatikan sarungku (agar tidak isbal)”. Sebagian orang menanyakan: “Sampai mana (engkau mengangkat sarungmu)?”. Ibnu Umar menjawab: “Hingga tengah dua betis” (HR: Muslim 5429)
Syaikh Al-Albani berkesimpulan: “Kisah ini merupakan bantahan kepada para masyaikh (para kyai, pen) yang memanjangkan jubah-jubah mereka hingga hampir menyentuh tanah dengan dalih mereka melakukannya bukan karena sombong. Mengapa mereka tidak meninggalkan isbal tersebut demi mengikuti perintah Nabi shallallahu ‘alihi wa sallam kepada Ibnu Umar (untuk mengangkat sarungnya) ataukah hati mereka lebih suci dari isi hati Ibnu Umar?” (As-Shahihah 4/95).
Rasulullah shallallahu ‘alihi wa sallam tetap menegur Ibnu Umar, padahal Ibnu Umar sebuah figur yang jauh dari kesombongan, bahkan beliau termasuk sahabat yang mulia dan paling bertakwa, namun Rasulullah shallallahu ‘alihi wa sallam tidak membiarkannya isbal, beliau tetap memerintahkannya untuk mengangkat sarungnya. Bukankah ini menunjukan bahwa adab ini (tidak isbal) tidak hanya berlaku pada orang yang berniat sombong saja ?.
Ketiga, Kisah ‘Umar radhiallahu ‘anhu menjelang meninggal dunia.
Menjelang meninggal dunianya, seorang pemuda datang dan memuji ‘Umar bin al-Khaththab radhiallahu ‘anhu. Ketika pemuda tersebut beranjak pergi, ‘Umar bin al-Khaththab radhiallahu ‘anhu memanggilnya kembali. Kemudian ‘Umar berkata kepadanya,
ارْفَعْ ثَوْبَكَ فَإِنَّهُ أَنْقَى لِثَوْبِكَ وَ أَتْقَى لِرَبِّكَ
“Angkatlah pakaianmu, sesungguhnya (jika engkau tidak isbal) maka itu lebih bersih bagi pakaianmu dan lebih bertaqwa kepada Rabbmu.” (HR. al-Bukhāri, No. 3700)
Perhatikan perkataan ”Umar bin al-Khaththab radhiallahu ‘anhu di atas! ‘Umar bin al-Khaththab radhiallahu ‘anhu tidak bertanya, “Engkau melakukannya dengan sombong atau tidak?” Akan tetapi ‘Umar bin Khaththab langsung memerintahkan pemuda itu untuk mengangkat pakaiannya.
Ibnu Abdil Barr berkata, “Termasuk riwayat yang paling mengena tentang hal ini, apa yang diriwayatkan oleh Sufyan bin Uyaiynah dari Husain dari ‘Amr bin Maimun berkata: “Tatkala Umar ditikam, manusia berdatangan menjenguk beliau. Diantara pembezuk, seorang pemuda dari Quraisy. Ia memberi salam kepada Umar. (Begitu hendak bergegas pergi) Umar melihat sarung pemuda tersebut dalam keadaan isbal, serta-merta beliau memanggilnya kembali dan berkata, “Angkat pakaianmu karena hal itu lebih bersih bagi pakaianmu dan engkau lebih bertaqwa pada Rabbmu.” (Selengkapnya lihat Bukhari no:3700). ‘Amr bin Maimun berkomentar :” Kondisi Umar ( yang kritis) tidak menghalanginya untuk menyuruh anak muda tadi agar mentaati Allah.” (Fathul Malik Bi tabwibi At-Tamhid 9/384)
Berkata Ibnu Umar tatkala melihat sikap ayahnya ini,
عَجَبًا لِعُمَرَ إِنْ رَأَى حَقَّ اللهِ عَلَيْهِ فَلَمْ يَمْنَعْهُ مَا هُوَ فِيْهِ أَنْ تَكَلَّمَ بِهِ
“Umar sungguh menakjubkan, jika ia melihat hak Allah (yang wajib ia tunaikan) maka tidak akan mencegahnya kondisinya (yang sekarat tersebut) untuk berbicara (menegur) hak Allah tersebut.” (Mushonnaf Ibni Abi Syaibah V/166 no 24815)
Keempat, Sabda Rasūlullāh shallallahu ‘alaihi wasallam yang mengatakan,
مَا كَانَ أَسْفَلَ مِنْ الْكَعْبَيْنِ مِنْ الْإِزَارِ فَفِي النَّارِ
“Sarung yang berada di bawah mata kaki maka tempatnya di neraka.” (HR. Bukhāri no. 5787)
Hadits ini dipahami berdasarkan keumumannya, bahkan oleh Ummu Salamah radhiyallāhu Ta’ālā ‘anhā (salah seorang istri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam). Ketika mendengar hadits ini, Ummu Salamah khawatir kalau para wanita juga terkena ancaman ini. Maka Ummu Salamah pun menanyakan hal ini kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam agar Beliau mengizinkan kepada para wanita untuk isbal. Maka Rasūlullāh shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
يُرْخِيْنَ شِبْرًا
“Hendaknya mereka menjulurkan rok mereka sehingga dengan panjang 1 jengkal.”
Kemudian Ummu Salamah masih berkata lagi,
إِذًا تَنْكَشِفُ أَقْدَامُهُنَّ
“Kalau begitu nanti kaki-kaki mereka akan tersingkap.”
Maka Rasūlullāh shallallahu ‘alaihi wasallam mengizinkan para wanita menambah isbalnya. Beliau bersabda,
فَيُرْخِيْنَهُ ذِرَاعًا لا يَزِدْنَ عَلَيْهِ
“Tambah lagi, julurkanlah sampai jarak sehasta, dan tidak boleh lebih dari itu.” (HR. Tirmidzi, dan lainnya)
Hal ini menunjukkan bagaimana semangatnya para wanita shahabiyah untuk menutupi kaki-kaki mereka agar tidak tersingkap sehingga rok mereka dipanjangkan sampai terseret di tanah, dengan kelebihan sehasta, dan tidak lebih dari itu.
Ini juga merupakan dalil bahwa Ummu Salamah meman-dang isbal sebagai suatu perbuatan yang haram secara mutlak, termasuk bagi para wanita, sampai kemudian datang dalil dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang mengecualikan para wanita.
Seandainya isbal diharamkan hanya karena sombong, maka para shahabiyah tidak perlu merasa khawatir masuk ke dalam ancaman tersebut.
Ibnu Hajar mengkritik pandangan Imam Nawawi, isbal hanya haram saat bergandengan dengan kesombongan, dengan berkata: “…Kalau memang demikian, untuk apa Ummu Salamah istifsar (bertanya) berulang kali kepada Nabi tentang hukum para wanita yang menjulurkan ujung-ujung baju mereka?. Salah seorang Ummahatul Mukminin ini memahami bahwa isbal dilarang secara mutlaq baik karena sombong atau tidak, maka beliau pun menanyakan tentang hukum kaum wanita yang isbal lantaran mereka harus melakukannya untuk menutupi aurat mereka, sebab seluruh kaki perempuan adalah aurat. Maka Nabi pun menjelaskan, bahwa para wanita berbeda dari kaum laki-laki dalam hukum larangan isbal…” (Fathul Baari 10/319).
Syaikh Al-Albani memaparkan : “Nabi tidak mengizinkan para wanita untuk isbal lebih dari sehasta karena tidak ada manfaat di dalamnya (karena dengan isbal sehasta kaki-kaki mereka sudah tersembunyi -pen), maka para lelaki lebih pantas dilarang untuk menambah (panjang celana mereka, karena tidak ada faedahnya sama sekali)” (Ash-Shahihah VI/409)
Berkata Ibnu Hajar (Fathul Bari 10/319): Hadits Ummu Salamah ada syahidnya dari hadits Ibnu Umar diriwayatkan oleh Abu Dawud melalui jalan Abu As-Siddiq dari Ibnu Umar, beliau berkata:
رَخَّصَ رَسُوْلُ اللهِ لأُمَّهَاتِ الْمُؤْمِنِيْنَ شِبْرًا ثُمَّ اسْتَزَدْنَهُ فَزَادَهُنَّ شِبْرًا
Rasulullah memberi rukhsoh (keringanan) bagi para Ummahatul mu’minin (istri-istri beliau) (untuk menurunkan ujung baju mereka) sepanjang satu jengkal, kemudian mereka meminta tambah lagi, maka Rasulullah mengizinkan mereka untuk menambah satu jengkal lagi (HR Abu Dawud no 4119, dishohihkan oleh Syaikh Al-Albani. Lihat juga As-Shahihah no 460). Perkataan Ibnu Umar “Rasulullah memberi rukhsoh” menunjukan bahwa hukum isbal pada asalnya haram, atau hukum menaikkan pakaian diatas mata kaki hukumnya adalah wajib. Karena kalimat “rukshoh” (keringanan/dispensasi) biasanya digunakan untuk menjatuhkan hal-hal yang asalnya adalah wajib (atau untuk melakukan hal-hal yang asalnya terlarang) karena suatu sikon.
Kelima: Adanya hadits yang memadukan kedua bentuk isbal (baik yang karena sombong maupun yang karena tidak sombong) dalam satu redaksi:
عَنْ أَبِي سَعِيْدٍ الْخُدْرِي قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ :”إِزَارُ الْمُسْلِمِ إِلَى نِصْفِ السَّاقِ, وَلا حَرَج – أَوْ وَلا جُنَاح – فِيْمَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْكَعْبَيْنِ, فَمَا كَانَ أَسْفَلَ مِنَ الْكَعْبَيْنِ فَهُوَ فِي النَّارِ, مَنْ جَرَّ إِزَارَهُ بَطَرًا لَمْ يَنْظُرِ اللهُ إِلَيْهِ
Dari Abu Said Al-Khudri berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alihi wa sallam bersabda: Sarung seorang muslim hingga tengah betis dan tidak mengapa jika di antara tengah betis hingga mata kaki. Segala (kain) yang di bawah mata kaki maka (tempatnya) di neraka. Barang siapa yang menyeret sarungnya (di tanah-pent) karena sombong maka Allah tidak melihatnya.” (HR. Abu Daud no: 4093, Malik no: 1699, Ibnu Majah no: 3640. Hadits ini dishahihkan oleh Imam Nawawi dalam Riyadus Shalihin, Syaikh Albani dan Syaikh Syu’aib Al-Arnauth)
Syaikh Utsaimin menjelaskan bahwa Nabi shallallahu ‘alihi wa sallam menyebutkan dua bentuk amal tersebut (isbal secara mutlaq dan isbal karena kesombongan-pen) dalam satu hadits, dan memerinci perbedaan hukum keduanya karena adzab keduanya berlainan. Artinya, kedua amal tersebut ragamnya berbeda sehingga berlainan juga pandangan hukum dan sanksinya. (As’ilah Muhimmah hal:30, sebagaimana dinukil dalam Al-Isbal hal: 26
Para ulama yang berpendapat hukum isbal adalah haram secara mutlak, baik karena sombong atau tidak sombong, menyebutkan beberapa hikmah dilarangnya isbal, di antaranya sebagai berikut.
- Isbal termasuk wujud dari sikap berlebih-lebihan (israf). Seseorang tidak perlu memakai pakaian yang berlebihan, apalagi panjangnya sampai menjulur ke tanah, kecuali bagi para wanita yang memang dituntut untuk berbuat demikian agar auratnya tertutup dengan sempurna.’
- Isbal dapat menyebabkan kotoran mengenai pakaiannya, bahkan bisa jadi kotoran itu menempel/lengket pada pakaiannya.
- Isbal termasuk pemandangan yang menarik perhatian.
Oleh karena itu, isbal diharamkan.
Isbal jika dilakukan karena sombong merupakan dosa besar dan ancamannya berat. Namun jika dilakukan bukan karena sombong maka dosa dan ancamannya pun lebih ringan. Akan tetapi, isbal tetap haram secara mutlak. Di sisi lain, para ulama sepakat bahwa di antara sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah memakai pakaian di atas mata kaki bagi laki-laki, baik sarung, celana, atau jubah .
Peringatan:
Diantara dalil yang dijadikan hujjah bahwa isbal hanyalah haram jika disertai kesombongan adalah hadits Abu Bakar As-Shiddiq.
Berikut ini redaksinya:
عَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا عَنِ النَّبِيِّ قَالَ : مَنْ جَرَّ ثَوْبَهُ خُيَلاَءَ لَمْ يَنْظُرِ اللهُ إِلَيْهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ, قَالَ أَبُوْ بَكْرٍ : يَا رَسُوْلَ اللهِ, إِنَّ أَحَدَ شِقَّيْ إِزَارِي يَسْتَرْخِي إِلَّا أَنْ أَتَعَاهَدَ ذَلِكَ مِنْهُ. فَقَالَ النَّبِيُّ : لَسْتَ مِمَّنْ يَصْنَعُهُ خُيَلَاءَ
Dari Ibnu Umar, dari Nabi shallallahu ‘alihi wa sallam, beliau bersabda, “ Barang siapa yang menyeret pakaiannya (di tanah) karena sombong, Allah tidak akan melihatnya pada hari Kiamat.”, Abu Bakar mengeluh “Wahai Rasulullah, sesungguhnya salah satu sisi sarung (pakaian bawah)ku (melorot) turun (melebihi batas mata kaki) kecuali kalau aku (senantiasa) menjaga sarungku dari isbal”. Nabi shallallahu ‘alihi wa sallam mengatakan :”Engkau bukan termasuk yang melakukannya karena sombong.” (HR Al-Bukhari no 5784)
Dengan berbekal tekstual tanya-jawab di atas, tersimpul ungkapan demikian:”Saya isbal bukan lantaran sikap sombong persis seperti pengakuan kepada Rasullah shallallahu ‘alihi wa sallam, tanpa ada unsur takabur. Saya dan Abu Bakar memiliki kedudukan sama di depan hukum Allah, apa yang boleh bagi Abu Bakar maka boleh juga bagi saya. Kalau Abu Bakar boleh untuk isbal tanpa sombong maka saya pun juga boleh melakukannya.”
Maka jawabannya:
Ibnu Hajar menjelaskan :”Sebab isbalnya sarung Abu Bakar adalah karena tubuhnya yang kurus”. (Fathul Baari 10/314)
Ibnu Hajar menambah, “Pada riwayat Ma’mar yang dikeluarkan oleh Imam Ahmad (redaksinya):
إِنَّ إِزَارِي يَسْتَرْخِي أَحْيَانًا
Sesungguhnya sarungku terkadang turun .” (Fathul Baari 10/314)
Abu Bakar adalah orang yang kurus, jika beliau bergerak, berjalan atau melakukan gerakan yang lainnya, pakaian bawahnya (izar), melorot turun tanpa disengaja. Namun jika beliau menjaga (memperhatikan) sarungnya maka tidak menjadi turun.
Hadits ini menunjukan bahwa secara mutlak, tidak masalah, sarung yang terjulur di bawah mata kaki kalau tanpa sengaja (Fathul Baari 10/314), sebagaimana Rasulullah pernah mengisbal sarung beliau tatkala tergesa-gesa untuk shlolat gerhana matahari. Abu Bakroh menceritakan:
خَسَفَتِ الشَّمْسُ وَنَحْنُ عِنْدَ النَّبِيِّ, فَقَامَ يَجُرُّ ثَوْبَهُ مُسْتَعْجِلاً حَتَّى أَتَى الْمَسْجِدَ
“Terjadi gerhana matahari dan kami sedang berada di sisi Nabi, maka Nabi pun berdiri dalam keadaan mengisbal sarung beliau karena tergea-gesa, sampai memasuki masjid.” (HR Al-Bukhari no 5785)
Ibnu Hajar berkesimpulan, “Pada hadits ini (terdapat dalil) bahwa isbal (yang muncul) dengan alasan ketergesaan tidak termasuk dalam larangan” (Al-Fath 10/315)
Ada beberapa point untuk mencounter orang yang bepegang erat dengan hadits Abu Bakar:
Sangat tepat bahwa anda dan Abu Bakar sama kedudukannya di mata hukum, apa yang menjadi dispensasi bagi Abu Bakar juga berlaku bagi saudara. Akan tetapi, apakah isi kalbu anda sama persis dengan yang terdapat dalam hati Abu Bakar??!!.
Abu Bakar kita pastikan tidak sombong karena ada nash sharih dan persaksian dari Nabi shallallahu ‘alihi wa sallam bahwasanya Ash-Shiddiq tidak sombong. Kalau saudara bisa menghadirkan persaksian Nabi bahwa saudara bebas dari kecongkakan saat berisbal-ria, maka kami sami’na wa atha’na. Bahkan Syaikh Utsaimin sendiri menantang: “Jika kami mengingkarimu maka silahkan kau potong lidah kami”. Namun ini mustahil, bagaimana mungkin anda membawakan mendatangkan persaksian Rasulullah. (Syarh Al-Ushul min ‘ilmil ushul 335)
Isbal yang terjadi pada Abu Bakar bukan karena faktor kesengajaan. Beliau bahkan menghindarinya, namun karena beliau orang yang tidak berbadan gemuk, akibatnya pakaian bawah beliau melorot turun di bawah mata kaki. Adapun anda, sengaja melakukannya, bahkan kepada penjahit, anda menginsruksikan “panjangkan celanaku (sekian),”, “turunkan celanaku (sekian)”.
Anggaplah argumentasi anda itu benar bahwa isbal tanpa kesombongan tidak bermasalah, namun secara implisit, jika saudara sedang isbal berarti saudara sedang memproklamirkan diri bahwa saudara bukanlah orang yang sombong tatkala sedang berisbal. Padahal Allah berfirman:
فَلا تُزَكُّوْا أَنْفُسَكُمْ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنِ اتَّقَى
Artinya: “Maka Janganlah Kalian mentazkiah diri kalian, Allah lebih tahu siapa yang bertaqwa” (QS An-Najm : 32)
Berkaitan dengan kisah Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu, tidak ada satu riwayat pun yang menceritakan, usai mendengarkan pernyataan Rasulullah shallallahu ‘alihi wa sallam tersebut di atas, lantas beliau ia berisbal ria sepanjang hari. Pada prinsipnya, riwayat tersebut menunjukkan bahwa pakaian bawah beliau tidak melewati mata kaki, akan tetapi tanpa disengaja turun, sehingga beliau harus menariknya kembali. Berbeda dengan mereka yang dari awal pakaiannya melebihi mata kaki, dengan demikian kisah Abu Bakar tidak bisa dijadikan sebagai pegangan.
Wallahu A’lam.
___________
Footnote:
[1] Berkata Syaikh Walid bin Muhammad, “Hadits hasan lighairihi, diriwayatkan oleh Ahmad (4/321,322,345) dari hadits Khorim bin Fatik Al-Asadi. Dan pada isnadnya ada perowi yang bernama Abu Ishaq, yaitu As-Sabi’i dan dia adalah seorang mudallis, dan telah meriwayatkan hadits ini dengan ‘an’anah. Namun hadits ini ada syahidnya (penguatnya) yaitu dari hadits Sahl bin Al-Handzoliah yang diriwayatkan oleh Ahmad (4/179,180) dan Abu Dawud (4/348) dan pada sanadnya ada perowi yang bernama Qois bin Bisyr bin Qois At-Thaglabi, dan tidak meriwayatkan dari Qois kecuali Hisyam bin Sa’d Al-Madani. Berkata Abu Hatim: Menurut saya haditsnya tidak mengapa. Dan Ibnu Hibban menyebutnya di Ats-Tsiqoot. Berkata Ibnu Hajar tentang Hisyam: “Maqbul” –yaitu diterima haditsnya jika dikuatkan oleh riwayat yang lain dari jalan selain dia, dan jika tidak ada riwayat yang lain (mutaba’ah) maka haditsnya layyin-. Dengan demikian derajat hadits ini adalah hasan lighoirihi, alhamdulillah. Dan hadits ini telah dihasankan oleh Imam An-Nawawi dalam Riadhus Sholihin”, lihat Al-Isbal, hal 13
Sumber: https://firanda.com/
Adab Makan (Makan & Minum dengan Tangan Kanan) – Hadis 15
وَعَنْهُ أَنَّ رَسُوْلَ الله صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: إِذَا أَكَلَ أَحَدُكُمْ فَلْيَأْكُلْ بِيَمِينِهِ وَإِذَا شَرِبَ فَلْيَشْرَبْ بِيَمِينِهِ فَإِنَّ الشَّيْطَانَ يَأْكُلُ بِشِمَالِهِ وَيَشْرَبُ بِشِمَالِهِ .أخرجه مسلم
Dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu Ta’āla ‘anhumā bahwasanya Rasulullah ﷺ bersabda, “Jika seorang dari kalian makan, maka makanlah dengan tangan kanannya. Dan jika ia minum maka minumlah dengan tangan kanannya. Sesungguhnya setan makan dengan tangan kirinya dan minum dengan tangan kirinya pula.”([1])
Para pembaca yang dirahmati Allah ﷻ, sebagian ulama berpendapat bahwa makan dan minum dengan tangan kanan hukumnya adalah sunah, tidak sampai diwajibkan karena hal ini berkaitan dengan masalah adab dan pengarahan.
Namun pendapat yang lebih kuat adalah makan dan minum dengan tangan kanan hukumnya wajib, bukan hanya sunah. Banyak dalil yang menunjukkan hal ini. Di antara dalil-dalil tersebut adalah sebagai berikut.
Pertama
Di antara dalil yang paling kuat adalah hadis ini. Dapat dipahami dari hadis ini bahwa makan dan minum dengan tangan kanan adalah dalam rangka menyelisihi setan yang makan dan minum dengan tangan kiri. Allah ﷻ telah memerintahkan kita untuk menyelisihi setan. Dengan demikian wajib hukumnya menyelisihi setan.
Allah ﷻ berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan.”([2])
Karena di antara sifat setan adalah makan dan minum dengan tangan kiri dan kita diperintahkan untuk menyelisihinya, maka makan dengan tangan kiri hukumnya adalah haram. Artinya, makan dengan tangan kanan hukumnya wajib.
Hadis ini juga merupakan dalil yang berkaitan dengan iman kepada hal-hal gaib, dalam hal ini adalah wujud dan perilaku setan. Meskipun setan tidak dapat kita lihat, tetapi kita meyakini bahwa setan juga makan dan minum dan mereka makan dan minum dengan menggunakan tangan kiri karena dengan gamblang diinformasikan oleh Rasulallah ﷺ dalam hadis ini.
Dalil yang menguatkan bahwasanya setan juga makan dan minum adalah beberapa hadis Rasulullah ﷺ yang menyebutkan dampak dari makan dan minumnya setan itu, yaitu ia buang air.
Dalam sebuah hadis disebutkan bahwasanya seseorang disebut namanya di sisi Rasulullah ﷺ .
مَا زَالَ نَائِمًا حَتَّى أَصْبَحَ، مَا قَامَ إِلَى الصَّلَاةِ، فَقَالَ: بَالَ الشَّيْطَانُ فِي أُذُنِهِ
“Orang tersebut ketiduran sampai pagi hari dan tidak bangun untuk salat malam. Maka Rasulullah ﷺ berkata, ‘Ia adalah seorang yang telinganya telah dikencingi oleh setan’.” ([3])
Hadis ini menunjukkan bahwasanya setan buang air kecil[4] yang merupakan proses/hasil dari makan dan minumnya.
Pada hadis lain Rasulullah ﷺ juga menyebutkan bahwa setan buang angin. Disebutkan bahwasanya tatkala seseorang hendak salat, maka setan akan mengganggunya. Rasulullah ﷺ bersabda,
إِذَا نُودِيَ لِلصَّلاَةِ، أَدْبَرَ الشَّيْطَانُ وَلَهُ ضُرَاطٌ
“Jika dikumandangkan azan untuk salat, setan pun berlari sambil kentut.”([5])
Hadis ini juga menunjukkan bahwa setan makan dan minum yang hasilnya kemudian setan buang air dan buang angin. Sebagai muslim, kita tentunya beriman kepada hal gaib yang dikabarkan oleh Rasulullah ﷺ.
Kesimpulannya, dalil yang menunjukkan bahwa makan dan minum dengan tangan kanan hukumnya wajib adalah karena termasuk ke dalam perintah Allah untuk menyelisihi setan yang makan dan minum dengan tangan kiri. Dan perintah itu bermakna wajib.
Kedua
Rasulullah ﷺ memerintahkannya secara mutlak. Contoh-nya ketika Rasulullah ﷺ memerintahkan,
يَا غُلَامُ سَمِّ اللَّهَ وَكُلْ بِيَمِينِكَ
“Wahai anak kecil, sebutlah nama Allah dan makanlah dengan tangan kananmu.”([6])
Ketiga
Rasulullah ﷺ pernah mendoakan keburukan bagi orang yang makan dengan tangan kiri. Disebutkan dalam hadis Salamah bin Al Akwa’,
أَنَّ رَجُلًا أَكَلَ عِنْدَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِشِمَالِهِ، فَقَالَ: «كُلْ بِيَمِينِكَ»، قَالَ: لَا أَسْتَطِيعُ، قَالَ: «لَا اسْتَطَعْتَ»، مَا مَنَعَهُ إِلَّا الْكِبْرُ، قَالَ: فَمَا رَفَعَهَا إِلَى فِيهِ.
“Ada seorang yang makan di sisi Rasulullah ﷺ dengan tangan kiri, maka Beliau mengatakan, ‘Makanlah dengan tangan kananmu!’ Kata orang tersebut, ‘Saya tidak bisa makan dengan tangan kanan.’ Maka Rasulullah mendoakan keburukan bagi orang ini, Beliau mengatakan, ‘Jika begitu, engkau tidak akan mampu,’ (menurut perawi hadis) sesungguhnya tidak menghalanginya kecuali kesombongan. Maka orang ini pun tidak mampu mengangkat tangan kanannya untuk makan setelah itu.”([7])
Perhatikanlah! karena dia tidak mau makan menggunakan tangan kanan maka Rasulullah ﷺ mendoakan keburukan, sehingga ia benar-benar tidak mampu makan dengan tangan kanannya. Jika makan dengan tangan kanan hanyalah sunah (tidak wajib) maka Rasulullah ﷺ tentu tidak akan mendoakan keburukan bagi orang ini.
Menurut sebagian ulama, hadis ini menunjukkan bahwa orang tersebut adalah orang munafik, karena ia sombong menolak perintah Rasulullah ﷺ . Kalau seandainya dia tidak mampu makan dengan tangan kanan karena memang memiliki uzur, tentu Rasulullah tidak akan mendoakan keburukan baginya. Para ulama telah menjelaskan bahwa orang yang tidak mampu makan dengan tangan kanan karena uzur (misalnya karena cacat atau yang lainnya) maka ia boleh makan dengan tangan kiri, karena itulah yang ia mampui.([8])
Di antara perkara yang perlu kita perhatikan dalam masalah ini adalah sebagai berikut.
Bahwa yang merupakan perkara ta’abbud (ibadah) adalah makan dan minum dengan tangan kanan.
Adapun menggunakan sendok atau sumpit untuk makan maka ini merupakan alat bantu makan dan termasuk perkara adat istiadat. Yang penting, tatkala kita menggunakan sumpit atau sendok tersebut kita menggunakannya dengan tangan kanan.
Mengenai minum dengan tangan kiri.
Kebiasaan sebagian orang tatkala sedang makan kemudian merasa tangan kanannya kotor, maka dia pun memegang gelas dengan tangan kiri kemudian minum dengan tangan kiri tersebut. Ini merupakan perkara yang diharamkan (tidak boleh), meskipun tangannya kotor harus memegang gelas tersebut dengan tangan kanan, bukankah gelas tersebut nantinya akan dicuci juga? Jangan karena takut gelasnya kotor maka kemudian ia mengikuti cara setan, yaitu minum dengan tangan kiri.
Bagi orang yang makan menggunakan kedua tangan, misalnya tangan kanannya memegang sendok dan tangan kirinya memegang garpu.
Dalam kondisi seperti ini, maka ingatlah bahwa tangan kiri hanya sekedar untuk membantu. Jadi ketika mengangkat makanan hendaknya dengan tangan kanan. Jangan sampai karena menggunakan garpu di tangan kirinya, kemudian dia makan dengan tangan kirinya juga.
Footnote:
_____________
([1]) HR. Muslim no. 2020
([2]) QS. An-Nūr: 21.
([3]) HR. Bukhari no. 1144.
[4] Berkata al-Qadhi ‘Iyadh, “Dan tidak terlalu jauh jika dimaknai sesuai lahirnya dan tujuan setan adalah untuk menghinakan manusia dan menjadikannya taat kepadanya.” Lihat: Ikmalul Mu’lim bi Fawaidi Muslim, 3/139.
([5]) HR. Bukhāri no. 583.
([6]) HR. Bukhari no. 5376 dan Muslim 2022.
([7]) HR. Muslim no. 2021.
([8]) Lihat Ikmalul Mu’lim bi Fawaidi Muslim 6/487.
Sumber: https://bekalislam.firanda.com/