Type Here to Get Search Results !


 

24. ALLAH HARAMKAN KEDZALIMAN


Hadits Arbain #24: 

Allah mengharamkan pada diri-Nya berbuat zalim, manusia pun tidak boleh berbuat zalim.

Hadits Al-Arbain An-Nawawiyah #24

الحَدِيْثُ الرَّابِعُ وَالعِشْرُوْنَ

عَنْ أَبِى ذَرٍّ الغِفَارِي رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَفِيْمَا يَرْوِيْهِ عَنْ رَبِّهِ عَزَّ وَجَلَّ أَنَّهُ قَالَ: يَا عِبَادِى إِنِّى حَرَّمْتُ الظُّلْمَ عَلَى نَفْسِى وَجَعَلْتُهُ بَيْنَكُمْ مُحَرَّمًا فَلاَ تَظَالَمُوا يَا عِبَادِى كُلُّكُمْ ضَالٌّ إِلاَّ مَنْ هَدَيْتُهُ فَاسْتَهْدُونِى أَهْدِكُمْ يَا عِبَادِى كُلُّكُمْ جَائِعٌ إِلاَّ مَنْ أَطْعَمْتُهُ فَاسْتَطْعِمُونِى أُطْعِمْكُمْ يَا عِبَادِى كُلُّكُمْ عَارٍ إِلاَّ مَنْ كَسَوْتُهُ فَاسْتَكْسُونِى أَكْسُكُمْ يَا عِبَادِى إِنَّكُمْ تُخْطِئُونَ بِاللَّيْلِ وَالنَّهَارِ وَأَنَا أَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعًا فَاسْتَغْفِرُونِى أَغْفِرْ لَكُمْ يَا عِبَادِى إِنَّكُمْ لَنْ تَبْلُغُوا ضَرِّى فَتَضُرُّونِى وَلَنْ تَبْلُغُوا نَفْعِى فَتَنْفَعُونِى يَا عِبَادِى لَوْ أَنَّ أَوَّلَكُمْ وَآخِرَكُمْ وَإِنْسَكُمْ وَجِنَّكُمْ كَانُوا عَلَى أَتْقَى قَلْبِ رَجُلٍ وَاحِدٍ مِنْكُمْ مَا زَادَ ذَلِكَ فِى مُلْكِى شَيْئًا يَا عِبَادِى لَوْ أَنَّ أَوَّلَكُمْ وَآخِرَكُمْ وَإِنْسَكُمْ وَجِنَّكُمْ كَانُوا عَلَى أَفْجَرِ قَلْبِ رَجُلٍ وَاحِدٍ مَا نَقَصَ ذَلِكَ مِنْ مُلْكِى شَيْئًا يَا عِبَادِى لَوْ أَنَّ أَوَّلَكُمْ وَآخِرَكُمْ وَإِنْسَكُمْ وَجِنَّكُمْ قَامُوا فِى صَعِيدٍ وَاحِدٍ فَسَأَلُونِى فَأَعْطَيْتُ كُلَّ إِنْسَانٍ مَسْأَلَتَهُ مَا نَقَصَ ذَلِكَ مِمَّا عِنْدِى إِلاَّ كَمَا يَنْقُصُ الْمِخْيَطُ إِذَا أُدْخِلَ الْبَحْرَ يَا عِبَادِى إِنَّمَا هِىَ أَعْمَالُكُمْ أُحْصِيهَا لَكُمْ ثُمَّ أُوَفِّيكُمْ إِيَّاهَا فَمَنْ وَجَدَ خَيْرًا فَلْيَحْمَدِ اللَّهَ وَمَنْ وَجَدَ غَيْرَ ذَلِكَ فَلاَ يَلُومَنَّ إِلاَّ نَفْسَهُ رَوَاهُ مُسْلِمٌ

Hadits Ke-24

Dari Abu Dzar Al-Ghifari radhiyallahu anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau meriwayatkan dari Allah ‘azza wa Jalla, sesungguhnya Allah telah berfirman:

“Wahai hamba-Ku, sesungguhnya Aku mengharamkan kezaliman atas diri-Ku dan Aku menjadikan kezaliman itu haram di antara kalian, maka janganlah kalian saling menzalimi. Wahai hamba-Ku, kalian semua sesat kecuali orang yang telah Kami beri petunjuk, maka hendaklah kalian minta petunjuk kepada-Ku, pasti Aku memberinya.

Wahai hamba-Ku, kalian semua adalah orang yang lapar, kecuali orang yang Aku beri makan, maka hendaklah kalian minta makan kepada-Ku, pasti Aku memberinya. Wahai hamba-Ku, kalian semua asalnya telanjang, kecuali yang telah Aku beri pakaian, maka hendaklah kalian minta pakaian kepada-Ku, pasti Aku memberinya.

Wahai hamba-Ku, sesungguhnya kalian berbuat dosa pada waktu malam dan siang, dan Aku mengampuni dosa-dosa itu semuanya, maka mintalah ampun kepada-Ku, pasti Aku mengampuni kalian.

Wahai hamba-Ku, sesungguhnya kalian tidak akan dapat membinasakan-Ku dan kalian tak akan dapat memberikan manfaat kepada-Ku. Wahai hamba-Ku, kalau orang-orang terdahulu dan yang terakhir di antara kalian, sekalian manusia dan jin, mereka itu bertakwa seperti orang yang paling bertakwa di antara kalian, tidak akan menambah kekuasaan-Ku sedikit pun. Jika orang-orang yang terdahulu dan yang terakhir di antara kalian, sekalian manusia dan jin, mereka itu berhati jahat seperti orang yang paling jahat di antara kalian, tidak akan mengurangi kekuasaan-Ku sedikit pun juga.

Wahai hamba-Ku, jika orang-orang terdahulu dan yang terakhir di antara kalian, sekalian manusia dan jin yang tinggal di bumi ini meminta kepada-Ku, lalu Aku memenuhi seluruh permintaan mereka, tidaklah hal itu mengurangi apa yang ada pada-Ku, kecuali sebagaimana sebatang jarum yang dimasukkan ke laut.

Wahai hamba-Ku, sesungguhnya inilah amal perbuatan kalian. Aku catat semuanya untuk kalian, kemudian Kami akan membalasnya.

Maka barang siapa yang mendapatkan kebaikan, hendaklah bersyukur kepada Allah dan barang siapa mendapatkan selain dari itu, maka janganlah sekali-kali ia menyalahkan kecuali dirinya sendiri.” (HR. Muslim) [HR. Muslim, no. 6737]

Keutamaan hadits di atas

Dalam lanjutan lafaz hadits di atas,

قَالَ سَعِيدٌ كَانَ أَبُو إِدْرِيسَ الْخَوْلاَنِىُّ إِذَا حَدَّثَ بِهَذَا الْحَدِيثِ جَثَا عَلَى رُكْبَتَيْه

“Sa’id berkata bahwa dulu ketika Abu Idris Al-Khawlaniy (yang meriwayatkan hadits ini) jika dia membacakan hadits ini dia langsung tersungkur untuk berlutut.” Lihat Jaami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam, 2:33.

Kami katakan: Suatu pelajaran penting dari kisah ini. Lihatlah bahwa para salaf dahulu, hati-hati mereka lebih terpengaruh dengan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam karena kandungannya yang sangat mendalam dan begitu mengena. Mereka tidaklah terpengaruh dengan cerita-cerita bualan dan fiktif seperti kebiasaan orang saat ini. Orang-orang saat ini hanya bisa terpengaruh jika membaca novel yang menyedihkan yang sebenarnya ditulis atas dasar bualan. Dan inilah tipu daya iblis terhadap mereka. Novel-novel saat ini membuat mereka menjauh dari Al-Qur’an dan sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam serta jalan hidup salaf (generasi terbaik umat ini) yang sebenarnya penuh dengan lautan ilmu dan terdapat kisah-kisah/ pelajaran-pelajaran yang amat menyentuh hati. Tetapi saat ini banyak yang melalaikannya. Hati siapakah yang rusak? Hati ulama terdahulu ataukah orang saat ini?

أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآَنَ أَمْ عَلَى قُلُوبٍ أَقْفَالُهَا

“Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Qur’an ataukah hati mereka terkunci?” (QS. Muhammad: 24)

Allah mengharamkan tindak zalim

Dalam hadits ini, Allah Ta’ala berfirman, “Wahai hamba-Ku, sesungguhnya Aku mengharamkan kezaliman atas diri-Ku dan Aku menjadikan kezaliman itu haram di antara kalian, maka janganlah kalian saling menzalimi.”

Berikut adalah perkataan Syaikh Abdul Muhsin dalam Fath Al-Qawi, “Kezaliman adalah meletakkan sesuatu bukan pada tempatnya. Allah telah mengharamkan kezaliman atas dirinya dan menghalanginya dari dirinya. Padahal Allah itu memiliki qudrah (kemampuan), namun tidak ada kezaliman dari Allah selamanya. Hal ini disebabkan kesempurnaan keadilan Allah Ta’ala. Allah Ta’ala berfirman,

وَمَا اللَّهُ يُرِيدُ ظُلْمًا لِلْعِبَادِ

“Dan Allah tidak menghendaki berbuat kezaliman terhadap hamba-hamba-Nya.” (QS. Al-Mukmin: 31)

وَمَا رَبُّكَ بِظَلَّامٍ لِلْعَبِيدِ

“Dan sekali-kali tidaklah Rabb-mu menzalimi hamba-hambaNya.” (QS. Fushshilat: 46)

إِنَّ اللَّهَ لَا يَظْلِمُ النَّاسَ شَيْئًا

“Sesungguhnya Allah tidak berbuat zalim kepada manusia sedikit pun.” (QS. Yunus: 44)

إِنَّ اللَّهَ لَا يَظْلِمُ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ

“Sesungguhnya Allah tidak menganiaya seseorang walaupun sebesar zarrah.” (QS. An Nisaa’: 40)

وَمَنْ يَعْمَلْ مِنَ الصَّالِحَاتِ وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَا يَخَافُ ظُلْمًا وَلَا هَضْمًا

“Dan barangsiapa mengerjakan amal-amal yang saleh dan ia dalam keadaan beriman, maka ia tidak khawatir akan perlakuan yang tidak adil (terhadapnya) dan tidak (pula) akan pengurangan haknya.” (QS. Thaha: 112). 

Maksudnya adalah tidak perlu takut (gusar) dengan kebaikan yang berkurang ataupun kejelekan yang bertambah atau pula akan ditimpakan kejelekan dari orang lain.

Ayat-ayat di atas dijelaskan tentang dinafikannya (ditiadakannya) kezaliman dari Allah Ta’ala, maka ini mengandung adanya penetapan sifat keadilan yang sempurna dari Allah Ta’ala.

Ibnu Rajab Al-Hambali rahimahullah berkata,“Allah menciptakan perbuatan hamba, di dalamnya terdapat suatu bentuk kezaliman yang dilakukan oleh hamba tersebut, maka ini tidaklah berarti Allah juga bersifat zalim. Sebagaimana Allah juga tidak disifati dengan sifat-sifat jelek lainnya yang dilakukan oleh hamba, walaupun setiap perbuatan hamba adalah makluk dan takdir (ketetapan) Allah. Allah tidaklah disifati kecuali dengan perbuatan-Nya saja dan tidak disifati dengan perbuatan hamba-Nya. Setiap perbuatan hamba adalah makhluk dan ciptaan-Nya. Namun, Allah tidaklah disifati dengan sesuatu dari perbuatan hamba tersebut. Allah hanyalah disifati dengan sifat dan perbuatan yang Dia melakukannya sendiri. Wallahu a’lam.” (Jaami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam, 2:36)

Kezaliman itu ada dua

Pertama, menzalimi diri sendiri, yang paling parah adalah berbuat syirik. Sebagaimana disebutkan dalam ayat,

وَإِذْ قَالَ لُقْمَانُ لِابْنِهِ وَهُوَ يَعِظُهُ يَا بُنَيَّ لَا تُشْرِكْ بِاللَّهِ ۖ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ

“Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: ‘Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar’.” (QS. Luqman: 13)

Kedua, seorang hamba menzalimi orang lain. Dalam hadits disebutkan,

فَإِنَّ دِمَاءَكُمْ وَأَمْوَالَكُمْ وَأَعْرَاضَكُمْ بَيْنَكُمْ حَرَامٌ كَحُرْمَةِ يَوْمِكُمْ هَذَا ، فِى شَهْرِكُمْ هَذَا ، فِى بَلَدِكُمْ هَذَ

“Sesungguhnya darah, harta, kehormatan di antara kalian itu haram sebagaimana haramnya hari kalian ini, bulan kalian ini, dan negeri kalian ini.” (HR. Bukhari, no. 67 dan Muslim, no. 1679)

Semua hamba dalam keadaan tak tahu arah

Dalam lanjutan hadits ini, Allah Ta’ala berfirman, “Wahai hamba-Ku, kalian semua sesat kecuali orang yang telah Kami beri petunjuk, maka hendaklah kalian minta petunjuk kepada-Ku, pasti Aku memberinya.”

Disebutkan dalam Jaami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam (2:39), sebagian orang mungkin ada yang mengatakan bahwa hadits ini bertentangan dengan hadits ‘Iyadh bin Himar di mana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, Allah Ta’ala berfirman,

وَإِنِّى خَلَقْتُ عِبَادِى حُنَفَاءَ

“Aku menciptakan hamba-Ku dalam keadaan berada di jalan yang lurus.” (HR. Muslim, no. 2865). Dalam riwayat lainnya dikatakan, “Dalam keadaan muslim lalu setan mengalihkannya dari jalan yang lurus.”

Hal ini tidaklah demikian. Tetapi yang dimaksudkan adalah bahwa Allah menciptakan Bani Adam (keturunan Adam) dalam keadaan menerima Islam dan condong kepadanya, bukan pada yang lainnya. Namun, setiap orang tidaklah bisa tetap dalam fitrah ini kecuali dengan adanya kekuatan. Yaitu seseorang harus mempelajari Islam. Karena seseorang sebelum belajar, dia berada dalam keadaan jahil (bodoh), tidak mengetahui apa-apa, sebagaimana Allah Ta’ala berfirman,

وَاللَّهُ أَخْرَجَكُمْ مِنْ بُطُونِ أُمَّهَاتِكُمْ لَا تَعْلَمُونَ شَيْئًا

“Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun.” (QS. An-Nahl: 78)

Allah juga mengatakan kepada Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam,

وَوَجَدَكَ ضَالًّا فَهَدَى

“Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang sesat, lalu Dia memberikan petunjuk.” (QS. Adh-Dhuha: 7). Dan yang dimaksudkan adalah Allah mendapatimu dalam keadaan tidak mengetahui apa yang ia ajarkan dari Al-Kitab dan Al-Hikmah.

Hal ini juga semakna dengan firman Allah Ta’ala,

وَكَذَلِكَ أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ رُوحًا مِنْ أَمْرِنَا مَا كُنْتَ تَدْرِي مَا الْكِتَابُ وَلَا الْإِيمَانُ

“Dan demikianlah Kami wahyukan kepadamu wahyu (Al Qur’an) dengan perintah Kami. Sebelumnya kamu tidaklah mengetahui apakah Al Kitab (Al Qur’an) dan tidak pula mengetahui apakah iman itu.” (QS. Asy Syuura: 52)

Oleh karena itu, manusia pada asalnya dilahirkan dalam keadaan fitrah yaitu menerima kebenaran. Jika Allah memberi petunjuk pada seseorang, Allah akan memberinya sebab dengan diajarkan mengenai petunjuk. Jadilah, dia orang yang mendapatkan petunjuk dengan perbuatan setelah sebelumnya dia menjadi orang yang mendapatkan petunjuk dengan kekuatan pada dirinya (usahanya). Namun, jika Allah ingin menelantarkan seseorang, Allah akan menakdirkan baginya dengan diajarkan berbagai hal yang menyebabkan seseorang keluar dari fitrah. Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

كُلُّ مَوْلُودٍ يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ ، فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ

“Setiap bayi yang lahir berada di atas fitrahnya. Lalu ayahnya-lah yang menjadikan dia Yahudi, Nashrani atau Majusi.” (HR. Bukhari, no. 1385 dan Muslim, no. 2658)

Dalam hadits ini terdapat perintah untuk meminta hidayah kepada Allah. Hidayah di sini meliputi hidayah petunjuk berupa pemberian penjelasan ilmu (hidayah ad-dalalah wal irsyad) dan hidayah taufik untuk beramal dan menerima dakwah (hidayah at-tawfiq wa at-tasydid). (Ingatlah), kebutuhan hamba pada hidayah melebihi kebutuhannya pada makan dan minum. Sebagaimana terdapat dalam surah Al-Fatihah. Dalam ayat itu, kita selalu meminta kepada Allah Ta’ala hidayah yang baru dan menambahkan kita hidayah dari hidayah yang sudah ada.

Sangat butuh pada-Nya

Dalam lanjutan hadits ini, Allah Ta’ala berfirman, “Wahai hamba-Ku, kalian semua adalah orang yang lapar, kecuali orang yang Aku beri makan, maka hendaklah kalian minta makan kepada-Ku, pasti Aku memberinya. Wahai hamba-Ku, kalian semua asalnya telanjang, kecuali yang telah Aku beri pakaian, maka hendaklah kalian minta pakaian kepada-Ku, pasti Aku memberinya.”

Dalam dua kalimat ini menunjukkan bahwa hamba sangat butuh kepada Rabbnya. Kebutuhan mereka kepada Rabbnya adalah dalam memperoleh rezeki dan pakaian. Mereka sebagai hamba-hamba Allah haruslah hanya meminta kepada-Nya baik dalam masalah makanan dan pakaian.

Faedah Hadits

Pertama: Riwayat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dari Rabb-nya memiliki tingkatan sanad yang paling tinggi. Sebab puncak sanad bisa kepada Allah Ta’ala dan ini yang disebut dengan hadits Qudsi.

Kedua: Hadits qudsi adalah hadits yang diriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dari Rabb-nya.

Ketiga: Allah memiliki sifat kalam (berbicara).

Keempat: Allah mampu untuk berbuat zalim (bersikap sewenang-wenang). Akan tetapi Allah telah mengharamkan atas diri-Nya untuk berbuat zalim disebabkan keadilan-Nya yang sempurna.

Kelima: Ada sifat Allah yang berupa peniadaan, misal peniadaan Allah dari sifat zalim.

Keenam: Hak Allah untuk mengharamkan atas diri-Nya apa pun yang dikehendaki-Nya, sebab segala hukum kembali pada-Nya. Sementara kita tidak bisa mengharamkan atas Allah Ta’ala, Allah-lah yang mengharamkan atas diri-Nya, sebagaimana ia telah mewajibkan atas diri-Nya sekehendak-Nya.

Ketujuh: Dilarang berbuat zalim pada orang lain, itulah zalim yang dimaksudkan dalam hadits.

Kedelapan: Manusia itu tersesat kecuali yang Allah berikan petunjuk padanya. Dari faedah ini kita menyimpulkan bahwa kita wajib untuk senantiasa memohon hidayah kepada-Nya supaya tidak tersesat.

Kesembilan: Karena kita dikatakan semuanya sesat, maka kita diperintahkan untuk menuntut ilmu.

Kesepuluh: Hidayah tidaklah diminta kecuali dari Allah Ta’ala.

Kesebelas: Pada dasarnya manusia dalam keadaan lapar, sebab mereka sama sekali tidak memiliki kemampuan untuk membuat sesuatu yang bisa menahan jasad mereka tetap hidup.

Kedua belas: Maksud kalimat “mintalah makan kepada-Ku” yaitu meminta makanan, berusaha mencari rezeki, dan mengharap keutamaan-Nya. Tentu saja hal ini diperoleh dengan disertai usaha.

Ketiga belas: Manusia pada dasarnya berada dalam keadaan telanjang, hingga Allah memberinya pakaian. Bisa jadi manusia itu telanjang secara fisik, bisa jadi pula telanjang secara maknawi (tidak ada ruh).

Keempat belas: Kemurahan Allah yang telah menjelaskan kepada hamba-Nya tentang keadaan dan kebutuhan mereka kepada-Nya, kemudian Allah mengajak mereka untuk memohon kepada-Nya supaya keadaan mereka yang diliputi oleh kekurangan dan kebutuhan itu hilang.

Kelima belas: Setiap manusia banyak kesalahannya.

Keenam belas: Betapa pun banyak dosa dan kesalahan, Allah Ta’ala akan mengampuninya, akan tetapi Allah menuntutnya untuk beristighfar.

Ketujuh belas: Beristighfar bisa dilakukan dengan dua acara yaitu (1) memohon ampunan dengan ucapan seperti ucapan ‘astaghfirullah’; (2) memohon ampun dengan amal saleh yang menjadi sebab tercapainya ampunan Allah.

Kedelapan belas: Allah akan menghapuskan seluruh dosa bagi yang meminta ampun kepada-Nya. Adapun yang tidak mengucapkan istighfar, dosa kecil akan terhapus dengan amal saleh. Sedangkan dosa besar harus disertai taubatan nasuha, tidak bisa dihapuskan oleh amal saleh (menurut jumhur ulama). Adapun masalah kufur, harus disertai taubatan nasuha, berdasarkan ijmak para ulama.

Kesembilan belas: Sempurnanya kekuasaan Allah dan Dia tidak butuh pada hamba-Nya.

Kedua puluh: Tempat ketakwaan dan kejahatan adalah hati.

Kedua puluh satu: Sempurnanya dan luasnya kekayaan Allah.

Kedua puluh dua: Manusia berkumpul pada satu tempat lebih dekat pada dikabulkannya doa daripada manusia dalam keadaan berpecah belah.

Kedua puluh tiga: Allah Ta’ala menghitung amalan hamba, artinya menetapkan dengan bilangannya, sehingga tidak ada seorang pun yang dikurangi haknya sedikit pun. Yang beramal sebesar dzarrah akan dibalas.

Kedua puluh empat: Siapa saja yang beramal niscaya akan dibalas oleh Allah, tanpa Allah berbuat zalim sedikit pun.

Kedua puluh lima: Wajib memuji Allah bagi yang mendapatkan kebaikan, hal itu dikarenakan dua hal: (1) Allah memudahkannya untuk beramal; (2) Allah membalasnya dengan pahala.

Kedua puluh enam: Siapa yang telat dalam beramal saleh dan ia tidak mendapatkan kebaikan, maka celaannya kepada dirinya sendiri.

Wallahul muwaffiq. Semoga Allah memberi taufik.

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

____

Referensi:

  1. Fath Al–Qawi Al-Matin fi Syarh Al-Arba’in wa Tatimmat Al-Khamsin li An-Nawawi wa Ibnu Rajab rahimahumallah. Cetakan kedua, Tahun 1436 H. Syaikh ‘Abdul Muhsin bin Hamad Al-‘Abbad Al-Badr.
  2. Jaami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam fii Syarh Khamsiin Hadiitsan min Jawami’ Al-Kalim. Cetakan kesepuluh, Tahun 1432 H.Ibnu Rajab Al-Hambali. Penerbit Muassasah Ar-Risalah.
  3. Syarh Al-Arba’in An-Nawawiyyah. Cetakan ketiga, Tahun 1425 H. Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin. Penerbit Dar Ats-Tsuraya.

Sumber: https://rumaysho.com/