Type Here to Get Search Results !


 

MUKADIMAH SYARAH KITABUL JAMI'/01

  

Mukadimah Syarah Kitabul Jami’

الحَمْدُ للهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَى أَشْرَفِ الأَنِبْيَاءِ وَالْمُرْسَلِيْنَ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ أَجْمَعِيْنَ، وَبَعْدُ

Sebagian orang menyangka bahwa ketakwaan dapat terwujud secara paripurna hanya dengan menjalankan dan menunaikan hak-hak Allah SWT tanpa peduli dengan hak para hamba-Nya, sehingga akhirnya ia melalaikan penunaian hak-hak para hamba Allah. Sangat menyedihkan tatkala sebagian kaum muslimin sangat bersemangat dalam menjalankan bermacam syiar Islam yang lahir, seperti ibadah wajib atau pun sunah, cara berpakaian, dan semacamnya, namun hatinya terjangkiti berbagai penyakit kronis seperti dengki, hasad, ujub, merasa lebih baik dari pada orang lain, sementara lisannya sibuk melukai saudaranya dengan dusta, gibah, adu-domba, celaan dan hardikan, membongkar aib-aib saudaranya. Perbuatan kesehariannya pun diwarnai ketidakamanahan yang menzalimi saudaranya, baik dalam janji, hutang, atau hal-hal semisalnya. Sejatinya, seorang muslim yang demikian keadaannya, tanpa sadar ia telah merobohkan sendiri tangga surga yang selama ini ia bangun, serta menggugurkan sendiri rindangnya pohon keimanan yang selama ini ia berusaha merawatnya.

Ketahuilah saudaraku, akhlak yang buruk terhadap sesama manusia, dapat mengosongkan pundi-pundi amalan yang selama ini kita usahakan, tanpa kita sadari. Rasulullah ﷺ bersabda:

ثَلاَثَةٌ لاَ تُرْفَعُ لَهُمْ صَلاَتُهُمْ فَوْقَ رُؤُوْسِهِمْ شِبْرًا رَجُلٌ أَمَّ قَوْمًا وَهُمْ لَهُ كَارِهُوْنَ وَامْرَأَةٌ بَاتَتْ وَزَوْجُهَا عَلَيْهَا سَاخِطٌ وَأَخَوَانِ مَتَصَارِمَانِ

            “Tiga golongan yang tidak diangkat sejengkal pun salat mereka di atas kepala mereka, (pertama) seorang lelaki yang mengimami suatu kaum sedangkan mereka membencinya (lantaran buruknya akhlaknya), (kedua) seorang wanita yang bermalam dalam keadaan suaminya marah kepadanya, dan (ketiga) dua orang bersaudara yang saling memutuskan hubungan.” ([1])

Rasulullah ﷺ juga bersabda:

وَإِنَّ سُوْءَ الْخُلُقِ يُفْسِدُ الْعَمَلَ كَمَا يُفْسِدُ الْخَلُّ الْعَسَلَ

“Dan sesungguhnya akhlak buruk itu merusak amal (saleh), sebagaimana cuka merusak madu.” ([2])

Suatu ketika([3]), diadukan kepada Rasulullah ﷺ perihal seorang perempuan lantaran ketajaman lisannya yang senantiasa melukai perasaan tetangga-tetangganya. Si pengadu merasa heran , ternyata wanita tersebut adalah sosok yang rajin berpuasa sunah, salat malam, dan sangat dermawan. Rasulullah ﷺ pun menjawab:

لاَ خَيْرَ فِيْهَا هِيَ فِي النَّارِ

 “Tidak ada kebaikan padanya. Tempatnya adalah neraka.”

Kemudian ditanyakan lagi kepada Rasulullah ﷺ perihal seorang perempuan yang selalu menjaga ibadah salat dan puasanya yang wajib, serta sesekali menyisihkan sedikit harta untuk disedekahkan. Ia tidak pernah melakukan ibadah-ibadah  sunah, namun ia tidak pernah menyakiti perasaan orang lain. Rasulullah ﷺ pun menjawab:

هِيَ فِي الْجَنَّةِ

 “Tempatnya di surga.”

Rasanya kisah pendek cukup sebagai pengingat yang bisa membangkitkan kesadaran kita untuk kembali menanyakan kepada diri kita masing-masing, “Wahai jiwa, sudahkah Anda berakhlak mulia?”

____

Footnote:

([1]) HR. Ibnu Majah, I/311, no. 971 dari hadis Ibnu ‘Abbas dan dinilai sebagai hadis hasan oleh Syekh Al-Albani dalam Misykat Al-Mashabih, no. 1128, karena terdapat syahid baginya dari hadis Abu Umamah, sebagaimana diriwayatkan oleh at-Tirmidzi, no 360, namun dengan penyebutan العبد الآبق (hamba sahaya yang melarikan diri dari tuannya) sebagai pengganti أخوان متصارمان (dua orang bersaudara yang saling memutuskan hubungan). Lihat: Syekh al-Albani, Ghayatul Maram, no 248.

([2]) HR. Ath-Thabarani dalam Al-Mu’jam Al-Awsath (I/259 No. 850), dan Al-Mu’jam Al-Kabir (X/319 No. 10.777). Al-Haitsami  berkata, “Pada sanadnya terdapat seorang perawi bernama ‘Isa bin Maimun Al-Madani dan ia adalah perawi yang lemah.” (Majma’ Az-Zawaid, VIII/24).  Dan dinilai sebagai hadis hasan oleh Syekh Al-Albani dalam Ash-Sahihah, no, 907.

([3]) HR. Al-Hakim dalam Al-Mustadrak (IV183 No. 7.304), Ibnu Hibban (Al-Ihsan XIII/77 No. 5.764), dan Ahmad (II/440 No. 9.673). Berkata Al-Haitsami, “Para perawinya tsiqah (terpercaya)” (Majma’ Az-Zawaid, VIII/169). Hadis ini dinyatakan sahih oleh Syekh Al-Albani dalam Sahih At-Targhib wa At-Tarhib No. 2560.

Sumber Pertama

Keutamaan Akhlak Mulia 

Keistimewaan akhlak yang mulia dalam Islam dapat diketahui dengan jelas dari beberapa tinjauan, di antaranya :

Pertama : Allah ﷻ secara khusus memuji akhlak Rasulullah Muhammad ﷺ, bahkan Allah ﷻ bersumpah akan hal itu. Allah ﷻ berfirman:

ن، وَالْقَلَمِ وَمَا يَسْطُرُونَ، مَا أَنْتَ بِنِعْمَةِ رَبِّكَ بِمَجْنُونٍ، وَإِنَّ لَكَ لَأَجْرًا غَيْرَ مَمْنُونٍ، وَإِنَّكَ لَعَلَى خُلُقٍ عَظِيمٍ

“Nun. Demi pena dan apa yang mereka tuliskan, dengan karunia Tuhanmu engkau (Muhammad) bukanlah orang gila, dan sesungguhnya engkau pasti mendapat pahala yang besar yang tidak putus-putusnya, dan sesungguhnya engkau benar-benar berbudi (berakhlak) pekerti yang luhur.” (QS. Al-Qalam:1-4)

Ayat ini menjelaskan akan tingginya kedudukan akhlak di mata Islam, juga sebagai isyarat kepada kita, umat Nabi Muhammad ﷺ, agar mencontoh beliau ﷺ, dengan cara berusaha semaksimal mungkin untuk berakhlak mulia.

Kedua: Rasulullahﷺ diutus untuk menyempurnakan akhlak.

Rasulullah ﷺ bersabda,

إِنَّمَا بُعِثْتُ ِلأُتَمِّمَ صَالِحَ اْلأَخْلاَقِ

“Aku diutus semata hanya untuk menyempurnakan[1] akhlak yang baik.”([2])

Hadis ini dengan lugas menunjukkan bahwa perbaikan akhlak adalah salah satu tujuan utama Islam sebagai risalah kenabian Rasulullah ﷺ, juga bahwasanya kedudukan akhlak mulia dalam Islam sangatlah agung, dan urgensinya sangatlah besar. Maka tidak heran, banyak ayat-ayat Kitab Suci Al-Qur’an dan hadis-hadis yang menyinggung dimensi adab dan akhlak, dari mulai bagian terkecil, hingga bagian-bagian terpenting dari kehidupan kita.

Ketiga: Akhlak mulia adalah salah satu faktor terbanyak yang memasukkan manusia ke dalam surga.

Ketika Rasulullah ﷺ ditanya perihal faktor terbanyak yang memasukkan manusia ke dalam surga, beliau ﷺ menjawab:

تَقْوَى اللَّهِ وَحُسْنُ الْخُلُقِ

“Ketakwaan kepada Allah dan akhlak mulia.”([3])

Keempat: Taraf kemuliaan akhlak adalah barometer keimanan seseorang.

Rasulullah ﷺ bersabda:

“أَكْمَل الْمُؤْمِنِينَ إِيمَانًا أَحْسَنُهمْ خُلُقًا، وَخِيَارُكُمْ خِيَارُكُمْ لِنِسَائِهِمْ.”

“Mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya. Dan sebaik-sebaik kalian adalah orang yang paling baik terhadap istrinya.”([4])

Rasulullah ﷺ juga pernah bersabda:

وَلاَ يَجْتَمِعُ الشُّحُّ وَالإِيمَانُ فِي قَلْبِ عَبْدٍ أَبَدًا

“Tidak akan berkumpul sifat kikir dan keimanan dalam hati seorang hamba selama-lamanya.”([5])

Kelima: Semakin mulia akhlak seorang mukmin, semakin besar pula kecintaan Rasulullah ﷺ kepadanya.

Rasulullahﷺ bersabda:

إِنَّ أَحَبَّكُمْ إِلَيَّ أَحَاسِنُكُمْ أَخْلَاقًا، الْمُوَطَّئُونَ أَكْنَافًا، الَّذِينَ يَأْلَفُونَ وَيُؤْلَفُونَ

“Sesungguhnya yang paling aku cintai di antara kalian adalah yang paling baik akhlaknya, (yaitu) orang-orang yang baik kepribadiannya, yang mudah bergaul dan diajak bergaul.”([6])

Salah satu kunci yang memudahkan seseorang untuk bergaul dengan orang lain, atau diajak bergaul oleh orang lain, adalah sikap tawaduk, kerendahan hati, dan tidak angkuh kepada orang lain.

Uqbah bin Amir RA pernah bercerita([7]), suatu ketika seseorang datang menemui Rasulullah ﷺ. Namun, saat Rasulullahﷺ mengajaknya berbicara, orang tersebut malah gemetaran -saking canggungnya berhadapan dengan Rasulullah ﷺ-. Melihat hal itu, Rasulullah ﷺ pun menenangkannya sembari bersabda:

هوِّن عليكَ، فإنِّي لستُ بملِكٍ، إنَّما أَنا ابنُ امرأةٍ تأكُلُ القَديدَ

‘Tenang saja! aku ini bukanlah seorang raja. Sungguh aku hanyalah anak dari seorang wanita biasa yang makan daging yang dikeringkan.”

Demikianlah seorang mukmin sejati, kehadirannya selalu dinanti, dan ketidakhadirannya selalu disayangkan dan disesali. Jangan sampai kita menjadi layaknya seburuk-buruk manusia, yang kehadirannya selalu disesali, dan ketidakhadirannya justru disenangi. Rasulullah ﷺ bersabda:

إِنَّ شَرَّ النَّاسِ مَنْزِلَةً عِنْدَ اللَّهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مَنْ وَدَعَهُ أَوْ تَرَكَهُ النَّاسُ اتِّقَاءَ فُحْشِهِ

“Sesungguhnya manusia yang paling buruk kedudukannya di sisi Allah pada Hari Kiamat, adalah orang yang dihindari oleh manusia karena takut kejelekannya.”([8])

Keenam: Semakin mulia akhlak seorang mukmin, maka semakin tinggi pula derajat surga yang akan ia tempati kelak.

Rasulullah ﷺ bersabda:

إِنَّ مِنْ أَحَبِّكُمْ إِلَيَّ وَأَقْرَبِكُمْ مِنِّي مَجْلِسًا يَوْمَ القِيَامَةِ أَحَاسِنَكُمْ أَخْلَاقًا

“Sesungguhnya yang paling aku cintai di antara kalian dan yang paling dekat majlisnya denganku pada Hari Kiamat, adalah yang paling mulia akhlaknya.”([9])

Ketujuh: Akhlak mulia akan membuahkan banyak pahala, lantaran kemudahan melakukannya, serta cakupannya yang sangat luas.

Rasulullah ﷺ bersabda:

إِنَّكُمْ لَنْ تَسَعُوا النَّاسَ بِأَمْوَالِكُمْ، وَلَكِنْ يَسَعُهُمْ مِنْكُمْ بَسْطُ الْوَجْهِ وَحُسْنُ الْخُلُقِ

“Sesungguhnya kalian tidak bisa meliputi hati manusia dengan harta kalian. Akan tetapi kalian bisa meliputi hati mereka dengan wajah berseri dan akhlak yang mulia.”([10])

Harta seseorang terbatas sedangkan jumlah manusia amatlah banyak. Terlebih lagi, sifat kikir sudah terpatri pada naluri manusia, sehingga sulit untuk meliputi seluruh manusia dengan kebaikan harta. Sedangkan akhlak mulia, seperti senyum, sapaan yang baik, dan lain sebagainya, ia sangat mudah untuk diaplikasikan, dan sangat luas cakupannya, sehingga pahala yang diraih darinya pun semakin banyak.

Kedelapan: Akhlak mulia akan membuahkan pahala yang banyak karena ia terkait dengan hubungan interatif di antara sesama makhluk.

Biasanya mayoritas waktu setiap manusia habis untuk berinteraksi dengan sesama makhluk. Kesehariannya dipenuhi dengan muamalah kepada sesama makhluk, dari mulai keluarga terdekat, guru atau pun murid, rekan kerja, para pedagang atau pun pembeli, binatang, tumbuhan, dan lain sebagainya. Apabila seorang mampu menanamkan akhlak mulia dalam dirinya, sehingga itu tercermin dalam setiap muamalahnya, maka seakan ia menghabiskan kesehariannya untuk mendulang pahala([11]).

Kesembilan: Rasulullah ﷺ sering berdoa meminta akhlak yang mulia.

Dalam salat, Rasulullah ﷺ berdoa dengan salah satu doa iftitah:

اللَّهمَّ اهدِني لأحسنِ الأعمالِ وأحسنِ الأخلاقِ لا يهدي لأحسنِها إلَّا أنتَ وقني سيِّئَ الأعمالِ وسيِّئَ الأخلاقِ لا يقي سيِّئَها إلَّا أنتَ.

“Ya Allah, tunjukilah aku amal dan akhlak yang terbaik. Tidak ada yang dapat menunjukkanku kepadanya kecuali Engkau. Jauhkanlah aku dari amal yang buruk dan akhlak yang buruk. Sungguh tidak ada yang dapat menjauhkanku dari keburukannya kecuali Engkau.“([12])

Di kesempatan lain, Beliau ﷺ juga berdoa:

اللهُمَّ أَحْسَنْتَ خَلْقِي، فَأَحْسِنْ خُلُقِي

“Ya Allah, sebagaimana Engkau telah memperbagus rupa fisikku, maka perbagus pulalah akhlakku.”([13])

Sebagian menyangka bahwa doa ini adalah doa khusus ketika bercermin, padahal doa ini merupakan doa yang umum. Doa ini boleh dipanjatkan kapan saja, tidak hanya ketika bercermin.

Beliau ﷺ juga berdoa:

اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ مُنْكَرَاتِ الأَخْلاَقِ وَالأَعْمَالِ وَالأَهْوَاءِ

“Ya Allah, aku berlindung kepadamu dari keburukan akhlak, amalan, dan hawa nafsu.”([14])

Saudaraku pembaca, selain kelak mendapatkan pahala di surga, seorang yang berakhlak mulia juga akan meraih kebahagiaan selama kehidupannya di dunia. Di antara faedah duniawi bagi seseorang yang berakhlak mulia :

  1.     Ketenteraman hati.
  2.     Mendekatkan yang jauh. Bahkan terkadang musuh bisa menjadi teman.
  3.     Dijauhkan dari banyak macam keburukan.

Dua Jenis Akhlak

Abdullah bin Mas’ud RA berkata,

إِنَّ اللَّهَ قَسَمَ بَيْنَكُمْ أَخْلاقَكُمْ كَمَا قَسَمَ بَيْنَكُمْ أَرْزَاقَكُمْ

“Sesungguhnya Allah Ta’ala membagi akhlak (yang terpuji) kepada kalian, sebagaimana Allah membagi rezeki kalian”([15])

Jika demikian, maka selaiknya, sebagaimana kita bersemangat sembari bertawakal kepada Allah ﷻ dalam mencari rezeki, demikian pula sikap kita ketika mengupayakan akhlak mulia dalam diri kita.

Ucapan Abdullah bin Mas’ud RA di atas juga menjelaskan, bahwa layaknya kondisi ekonomi seseorang yang fluktuatif, demikian pula taraf kemuliaan akhlak seseorang pun naik-turun. Oleh karenanya Rasulullah ﷺ senantiasa berdoa meminta akhlak yang baik dan berlindung dari akhlak yang buruk.

Akhlak ada dua jenis, yaitu:

  • Pertama: Jibilly (watak asli).

Rasulullah ﷺ pernah bersabda kepada Al-Asyajj bin Abdul Qais RA:

يَا أَشَجُّ، إِنَّ فِيكَ خَصْلَتَيْنِ يُحِبُّهُمَا اللهُ وَرَسُولُهُ: الْحِلْمَ وَالْأَنَاةَ

“Wahai Asyaj, sesungguhnya pada dirimu ada dua perangai yang dicintai oleh Allah dan Rasul-Nya, yaitu kecerdasan dan ketenangan dalam bersikap.”

Mendengar itu, Al-Asyajj RA pun bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah kedua perangai tersebut adalah hasil usahaku, atau kah Allah yang telah menjadikannya sebagai watak asliku?”

Rasulullah ﷺ pun menjawab:

بَلِ اللهُ جَبَلَكَ عَلَيْهِمَا

“Allah ﷻ telah menjadikan kedua perangai tersebut terpatri sebagai watak aslimu”.

Al-Asyajj RA pun berkata:

الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي جَبَلَنِي عَلَى خُلُقَيْنِ يُحِبُّهُمَا اللهُ وَرَسُولُهُ

“Segala puji bagi Allah yang telah menjadikan dua perangai yang dicintai oleh Allah dan Rasul-Nya sebagai watak asliku.”([16])

  • Kedua: Muktasab (diusahakan dan diperjuangkan dalam mendapatkannya).

Rasulullah ﷺ bersabda:

أَنَا زَعِيمٌ بِبَيْتٍ فِي أَعْلَى الْجَنَّةِ لِمَنْ لِمَنْ حَسَّنَ خُلُقَهُ

“Aku menjamin istana di bagian atas surga bagi orang yang memperindah akhlaknya.” ([17])

Rasulullah ﷺ juga bersabda:

مَنْ يَتَصَبَّرْ يُصَبِّرْهُ الله

“Siapa yang berusaha bersabar, niscaya Allah ﷻ akan jadikan dia penyabar.”([18])

Hadis ini menunjukkan bahwa orang yang tadinya pemarah bisa berubah menjadi penyabar jika ia berusaha melatih dirinya untuk itu.

Oleh karenanya, hendaknya seseorang senantiasa berusaha menghiasi dan membiasakan dirinya dengan akhlak yang mulia. Janganlah ia mengatakan, “Saya memang begini orangnya. Tabiat dan watak saya memang seperti ini, bagaimana bisa diubah?”

Saudaraku pembaca, seAndainya perangai tidak dapat diubah, watak buruk tidak bisa diperindah, lalu untuk apa Allah ﷻ dan Rasulullah ﷺ memotivasi kita untuk berakhlak mulia?! Hal itu tentulah karena setiap orang memiliki peluang untuk mengubah akhlaknya, melatih dan membiasakan dirinya untuk menjadi semakin baik, apabila ia memiliki kesadaran untuk mengubahnya.

Bagaimana cara memperbaiki akhlak?

Di antara cara mengupayakan terbentuknya akhlak yang baik pada diri seorang hamba adalah sebagai berikut:

  •     Berjuang secara terus-menerus memperbaiki niat.
  •     Belajar tentang akhlak mulia serta mempelajari faktor-faktor pembentuk
  •     Mengenali akhlak yang buruk, sehingga ia mampu untuk menghindarinya, atau menghilangkannya dari dirinya.
  •     Berusaha semaksimal mungkin untuk mengaplikasikan akhlak-akhlak mulia yang telah ia ketahui.
  •     Mengajak orang lain untuk berakhlak mulia, sehingga dirinya pun ikut terpacu untuk mempraktikkannya.

Buku yang ada di hadapan Anda ini adalah pewujudan usaha sederhana dalam rangka menjelaskan sejumlah hadis yang berkaitan dengan akhlak mulia dan adab-adab dalam ajaran Islam. Asal buku ini adalah transkrip dari serial pengajian penjelasan Kitabul Jami’ dari Bulughul Maraam karya Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-‘Asqalaani RH yang diampu oleh penulis sendiri.

Penulis sengaja tidak melebarkan pembahasan, hanya menyampaikan poin-poin yang dipAndang penting, agar tidak terlalu memperbesar ukuran buku, dan juga agar mudah untuk dibaca dan dipahami oleh seluruh khalayak pembaca. Mayoritas materi buku ini terkait dengan keseharian kita, sehingga kandungannya disajikan secara singkat dan padat. Tujuannya tidak lain melainkan agar kita bersemangat untuk mengejawantahkan nilai-nilainya dalam kehidupan kita sehari-hari.

Semoga Allah ﷻ menjeadikannya bermanfaat bagi umat Islam -terutama bagi penulis sendiri-. Semoga Allah ﷻ mengampuni dosa-dosa dan mengangkat derajat selruruh kaum muslimin di dunia dan di akhirat. Amin, Ya Rabbal ‘alamin.

Saran dan kritik konstruiktif para pembaca selalu ditunggu dan dinanti oleh penulis. Berbagai saran maupun kritik bisa ditujukan langsung ke alamat email: andirja.firanda@gmail.com.

Dalam ungkapan sebagian ulama generasi salaf dikatakan:

رَحِمَ اللَّهُ مَنْ أَهْدَى إلَيَّ عُيُوبِي فِي سِرٍّ بَيْنِي وَبَيْنَهُ

“Semoga Allah merahmati orang yang menghadiahkan (menunjukkan) kepadaku berbagai kekuranganku secara rahasia hanya antara aku dan dia.” ([19])

Akhir kata, kita memanjatkan doa yang diajarkan oleh Rasulullah ﷺ untuk meraih akhlak yang mulia:

اللّهُمَّ اهْدِنَا لأَحْسَنِ الأَخْلاَقِ لاَ يَهْدِي لأَحْسَنِهَا إِلاَّ أَنْتَ وَاصْرِفْ عَنَّا سَيِّئَهَا لاَ يَصْرِفُ سَيِّئَهَا إِلاَّ أَنْتَ

“Ya Allah berilah kami petunjuk untuk berhias dengan akhlak yang terbaik karena tidak ada yang dapat menunjukkan kami kepada hal itu, kecuali Engkau. Palingkanlah dari kami akhlak yang buruk. Tidak ada yang dapat memalingkan kami darinya kecuali Engkau.” ([20])

Semoga kita semua termasuk dalam orang-orang yang memperoleh janji Rasulullah ﷺ dalam sabdanya:

«أَنَا زَعِيمٌ بِبَيْتٍ فِي رَبَضِ الْجَنَّةِ لِمَنْ تَرَكَ الْمِرَاءَ وَإِنْ كَانَ مُحِقًّا وَبِبَيْتٍ فِي وَسَطِ الْجَنَّةِ لِمَنْ تَرَكَ الْكَذِبَ وَإِنْ كَانَ مَازِحًا وَبِبَيْتٍ فِي أَعْلَى الْجَنَّةِ لِمَنْ حَسَّنَ خُلُقَهُ»

“Aku menjamin sebuah rumah di tepian surga bagi siapa yang meninggalkan perdebatan meskipun ia berada di atas kebenaran, dan sebuah rumah di tengah surga bagi orang yang meninggalkan dusta meskipun hanya bercAnda, dan sebuah rumah di tempat tertinggi di surga bagi siapa yang membaguskan akhlaknya.”([21])

____

Footnote:

[1] Hadis ini adalah satu dari sekian bukti bahwa kaum Arab Jahiliah memiliki sifat dan akhlak mulia yang sudah mereka tradisikan secara turun-temurun, seperti kedermawanan, pemuliaan tamu, kejujuran, kesetiakawanan, dan lain sebagainya. Kemudian Islam datang untuk menyempurnakan itu semua.

([2]) HR. Ahmad, no. 8939, dan Bukhari dalam Al-Adab Al-Mufrad, no. 273. Hadis ini juga dinilai sahih oleh Al-Albani dalam Sahih Al-Jami’, no. 2833.

([3]) HR. Tirmidzi, no. 2004, dan Ibnu Majah, no. 4246. Hadis ini dinilai hasan oleh Al-Albani dalam Sahih At-Targhib, no. 1723.

([4]) HR. At-Tirmidzi, no. 1162 dan Ahmad, no.2/472. Al-Isybili dalam Al-Ahkam As-Sughra mengatakan bahwa sanad hadisnya sahih.

([5]) HR. An-Nasa’I, no. 3110 dan dinilai sahih oleh Al-Albani dalam Sahih Al-Jami’, no. 7616.

([6]) HR. At-Thabarani dalam Al-Mu’jam As-Shagir, no. 605. Al-Albani dalam As-Silsilah Ash-Sahihah 2/378 mengatakan bahwa hadis ini memiliki syawahid (beberapa riwayat persaksian sebagai penguat) yang banyak sehingga menaikkan derajatnya menjadi hadis hasan.

([7]) HR. Ibnu Majah, no. 3312 dan dinilai sahih oleh Al-Albani dalam Sahih Sunan Ibn Majah, no. 3312 dan Ash-Sahihah, no. 1876.

([8]) HR. Muslim, no. 4693.

([9]) HR. Tirmidzi, no. 1941. Dinilai hasan oleh Al-Albani dalam Sahih Al-Jaami’ no. 2201.

([10]) HR. Al-Bazzar, no. 9313 dan dinilai hasan oleh Al-Albani dalam Sahih At-Targhib no. 2661

([11]) Lihat: Al-Fatawa As-Sa’diyyah hal. 636

([12]) HR. An-Nasa’I, no. 896, dan Ad-Daraquthni, 1/298. Hadis ini dinilai sahih oleh Al-Albani dalam Sahih An-Nasa’I, no. 896.

([13]) HR. Ahmad, no. 24392 dan Al-Baihaqi dalam Syu’ab Al-Iman, no. 8183, hadis ini dinilai sahih oleh Al-Albani dalam Sahih Al-Jami’, no. 1307.

([14]) HR. Tirmidzi no. 3591 dan dinilai sahih oleh Al-Albani dalam Sahih Sunan At-Tirmidzi no. 3591.

([15]) HR. Ahmad 3490 dan disahikan oleh Al-Albani dalam Ash-Sahihah no. 2714 secara mauquf (bersumber dari para sahabat) dari Abdullah Ibn Mas’ud namun memiliki status hukum sebagai hadis marfu’ (berasal dari Nabi Muhammad SAW).

([16]) HR. Ahmad, 39/490 dan asal hadisnya tanpa tambahan pertanyaaan dari al-Asyajj diriwayatkan oleh Muslim, no. 17.

([17]) HR. Abu Dawud no. 4800 dan Tirmidzi no. 1993 dan dinilai sebagai hadis hasan oleh Al-Albani dalam Sahih Al-Jami’, no. 1464. Lihat: ash-Sahihah, no. 273.

([18]) HR. Al-Bukhari no. 1.469

([19]) Al-Adab Asy-Syar’iyah karya Ibnu Muflih 1/361

([20]) Doa diambil dari HR. Muslim No. 771

([21]) HR Abu Dawud, no. 4800 dan dihasankan oleh Syekh Al-Albani dalam Sahihul Jami’, No. 1464

Sumber: Sumber Kedua

Selayang Pandang Kitabul Jami’

Saudaraku pembaca, Kitābul Jāmi’ adalah bagian dari kitab Bulūghul Marām min Adillatil Ahkām yang ditulis oleh Al-Hāfizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani rahimahullah (wafat 852 H). Beliau rahimahullah menjadikan Kitābul Jāmi’ sebagai bab penutup dari karya fenomenalnya tersebut. Nama Bulūghul Marām min Adillatil Ahkām tentu tak asing bagi banyak khalayak muslim. Ia merupakan salah satu karya tulis ringkas terbaik yang merangkum sejumlah hadis Rasulullah ﷺ dalam kajian fikih. Berbagai hadis yang dimuat di dalamnya terkategorikan ke dalam hadis-hadis yang merupakan pondasi hukum Islam di kalangan para ulama. Dimulai dari Bab Taharah, Bab Salat, Bab Haji, Bab Zakat, Bab Jihad, dan seterusnya hadis demi hadis dalam kitab ini disajikan secara apik dan ringkas oleh Ibnu Hajar, termasuk pula penisbahannya kepada referensi primer di mana hadis tersebut diriwayatkan dengan sanadnya, serta penilaian terhadap derajat akurasinya.

Kitābul Jāmi’ sejatinya tidaklah berhubungan dengan masalah fikih terkait bab tertentu, melainkan lebih cenderung berhubungan dengan masalah adab dan akhlak, yaitu tentang akhlak yang baik yang harus dibiasakan, tentang akhlak yang buruk yang harus dijauhi, serta tentang zikir dan doa. Hanya saja, seakan-akan Al-Hafizh Ibnu Hajar hendak mengingatkan kepada segenap pembaca kitab Bulughul Maram, bahwasanya penguasan terhadap bab-bab fikih, sepatutnya tidak terpisahkan dari balutan adab yang baik dan akhlak yang mulia.

Seakan beliau rahimahullah hendak mengingatkan, bahwa dalam diri seseorang, apabila ilmu tidak dihiasi dengan adab dan akhlak dapat berubah menjadi kecelakaan fatal. Layaknya harta dan kedudukan, ilmu yang banyak –jika tidak disertai dengan keikhlasan dalam menuntutnya dan mengamalkannya- juga berpotensi besar menjerumuskan seseorang dalam keangkuhan dan kesombongan. Bahkan tidak jarang kita jumpai sebagian penuntut ilmu pemula yang masih ‘cetek’ ilmunya, namun sudah mulai tumbuh bibit keangkuhan dan kesombongan yang ditunjukkan dalam ungkapan-ungkapan lisannya atau pun tulisan-tulisannya. Ilmu yang sejatinya menjadikan seseorang beradab dan berakhlak bisa menjadi senjata makan tuan yang menambahkan kesombongan, apabila jika tidak berangkat dari niat yang benar dan tujuan yang tulus dalam menuntutnya.

Dalam sejarah tradisi penulisan ilmiah Islam, ditengarai bahwa yang pertama kali menginovasi sebutan Kitabul Jami’ adalah Imam Malik bin Anas (wafat 179 H), sebagaimana disebutkan oleh Abu Bakar Ibnul ‘Arabi al-Ma’afiri (wafat 543 H) dalam al-Qabas yang merupakan syarah milik beliau untuk kitab al-Muwaththa`.

Alasan penamaannya seperti itu oleh Imam Malik, masih menurut Ibnul ‘Arabi, adalah:

    Karena kontennya yang tidak serasi dengan bentuk taklif dari berbagai hukum yang telah terkategorisasikan ke dalam pelbagai bab dan sub-bab.

    Di saat beliau menganalisis ragam hukum syarak dan mendapatinya terbagi menjadi kelompok perintah, larangan, ibadah dan muamalah, serta jinayah, beliau pun merangkainya dan mengaitkan jenis yang satu dengan lainnya. Kemudian didapati sejumlah makna dari ajaran syarak yang tidak dapat dikelompokkan menjadi satu, juga tidak pas untuk dimasukkan satu-persatunya ke dalam suatu bab terpisah dari lainnya karena terlalu ringkas. Akhirnya, beliau pun mengumpulkan dan merangkaikannya menjadi satu dalam kumpulan yang kemudian diberi nama Kitabul Jami’. Apa yang beliau kreasi ini selanjutnya membuka horizon para penulis di masa-masa selanjutnya.[1]

Dilihat dari sistematika penyusunan Bulughul Maram, dalam hal penyertaan Kitabul Jami’ dan penempatannya pada bagian paling akhir, tampaknya al-Hafizh Ibnu Hajar mengikuti para ulama pendahulunya yang juga menuliskan buku kompilasi hadis-hadis hukum secara ringkas semisal Ibnu Daqiq al-Ied (wafat 702 H) dalam al-Ilmam dan Ibnu Abdil Hadi (wafat 744 H) dalam al-Muharrar.

Al-jami’ dalam bahasa Arab artinya yang mengumpulkan atau yang mencakup. Ia disebut sebagai Kitābul Jāmi’, karena kitab ini mencakup 6 bab yang berkaitan dengan akhlak, yaitu sebagai berikut:


_ Bab Pertama – Bab al-Adab.

_ Bab Kedua – Bab al-Birr wa ash-Shilah, yaitu bab tentang bagaimana beramal kebajikan dan bagaimana mengukuhkan tali silaturahim.

_ Bab Ketiga – Bab az-Zuhd wa al–Wara’, tentang zuhud dan sifat warak.

_ Bab Keempat – Bab at-Targhib min Makarim al-Akhlaq, bab yang berisi peringatan dari akhlak-akhlak yang buruk.

_ Bab Kelima – Bab at-Targhib min Makarim al-Akhlaq, bab yang berisi motivasi untuk berakhlak mulia.

_ Bab Keenam – Bab adz-Dzikr wa ad–Du’ā, bab yang berkaitan dengan zikir dan doa.

___

Footnote:

[1] Lihat: Abu Bakar Ibnul ‘Arabi, al-Qabas, 3/1082. Uraian serupa juga dikutip dari Ibnul ‘Arabi oleh as-Suyuthi dalam Tanwir al-Hawalik, 3/82, namun dinisbahkan kepada tafsirnya.

Sumber: https://bekalislam.firanda.com/