بَابُ مَنْ تَبَرَّكَ بِشَجَرَةٍ أَوْ حَجَرٍ وَنَحْوِهِمَا
BARANGSIAPA YANG MENGHARAPKAN BERKAH DARI PEPOHONAN, BEBATUAN ATAU YANG SEJENISNYA
Oleh DR. Firanda Andirja, Lc. MA
Tidak diragukan lagi bahwasanya keberkahan adalah perkara yang dicintai dan dicari-cari. Akan tetapi sebagian orang berlebih-lebihan dan melampaui batas dalam mencarinya, sehingga mencari pada yang bukan sumber keberkahan. Bahkan terjerumus dalam praktik-praktik kesyirikan, dikarenakan kebodohan dan kejahilan.
Hal ini menunjukkan pentingnya mengetahui apa saja bentuk-bentuk mencari keberkahan yang disyari’atkan, apa saja yang tidak disyari’atkan dan dilarang, apa saja bentuk mencari keberkahan yang bid’ah, dan apa saja yang merupakan kesyirikan.
Sungguh sangat menyedihkan ketika kita mendapati banyak di negeri-negeri kaum muslimin yang tersebar praktik-praktik mencari keberkahan yang tidak disyari’atkan. Apalagi begitu tersebarnya hingga menjadi suatu kebiasaan dan tradisi bahkan dianggap sebagai bentuk mendekatkan diri kepada Allah. Begitu banyak kuburan-kuburan yang dijadikan tempat untuk mencari keberkahan, sampai-sampai masyarakat rela bersafar jauh demi menuju kuburan-kuburan tersebut, mereka berdiam di kuburan, mengusap-ngusap kuburan untuk mencari keberkahan, bahkan mengambil sebagian tanah dari kuburan tersebut sebagai obat. Demikian juga meyakini bahwa berdoa dan sholat serta membaca al-Qur’an di kuburan lebih berkah. Karenanya mereka membangun kubah atau bangunan yang tinggi di atas kuburan-kuburan tersebut untuk lebih menyiapkan sarana dan prasarana dalam mencari keberkahan dari kuburan-kuburan tersebut. Hal ini tentu berbahaya dan bisa jadi menjerumuskan sebagian mereka dalam kesyirikan, hingga akhirnya meminta-minta kepada mayat-mayat penghuni kuburan.
Sebagian kaum muslimin yang lain mencari keberkahan pada hari-hari yang tidak ada dalilnya yang menunjukkan akan keberkahannya secara khusus. mereka mengadakan perayaan-perayaan khusus pada hari-hari tersebut. Akhirnya merekapun terjerumus dalam berbagai macam praktik bid’ah.
Agar mudah memahami permasalahan-permasalahan yang berkaitan dengan mencari barokah, ada beberapa perkara yang harus diketahui :
Pertama : Istilah Berkah dalam bahasa Arab kembali kepada dua makna, yaitu bertambah dan menetap.
Dikatakan:
بَرَكَ الْبَعِيرُ يَبْرُكُ بُرُوكًا
Onta “baroka” yaitu Onta menderem/duduk/menetap”([1])
Dikatakan juga :
الْبِرْكَةُ شِبْهُ حَوْضٍ يُحْفَرُ فِي الْأَرْضِ
Al-Birkah adalah semacam danau yang digali di bumi([2]) karena airnya yang menetap di danau.
Jadi berkah artinya kebaikan yang bertambah/banyak dan menetap.
Kedua: Kebaikan (keberkahan) seluruhnya di tangan Allah.
Allah berfirman:
بِيَدِكَ الْخَيْرُ إِنَّكَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
“Di tangan Engkaulah segala kebaikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS Ali ‘Imron : 26)
At-Thobari berkata:
{بِيَدِكَ الْخَيْرُ}: أَيْ كُلُّ ذَلِكَ بِيَدِكَ وَإِلَيْكَ، لَا يَقْدِرُ عَلَى ذَلِكَ أَحَدٌ؛ لِأَنَّكَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ، دُونَ سَائِرِ خَلْقِكَ، وَدُونَ مَنِ اتَّخَذَهُ الْمُشْرِكُونَ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ وَالْأُمِّيِّينَ مِنَ الْعَرَبِ إِلَهًا وَرَبًّا يَعْبُدُونَهُ مِنْ دُونِكَ، كَالْمَسِيحِ وَالْأَنْدَادِ الَّتِي اتَّخَذَهَا الْأُمِّيُّونَ رَبًّا
“DitanganMu lah segala kebajikan” yaitu semua kebaikan di tanganMu dan kembali kepadaMu, tidak seorangpun yang menguasainya, karena Engkau maha kuasa atas segala sesuatu, bukan seluruh makhlukMu, bukan juga yang dijadikan sesembahan dan tuhan oleh kaum musyrikin dari kalangan ahlul kitab dan musyrikin Arab seperti Nabi Isa dan sesembahan-sesembahan selainMu” ([3])
Diantara kebaikan adalah kenikmatan, dan terlalu banyak dalil yang menunjukan bahwa kebaikan seluruhnya dari Allah.
وَمَا بِكُمْ مِنْ نِعْمَةٍ فَمِنَ اللَّهِ
Dan apa saja nikmat yang ada padamu, maka dari Allah-lah (datangnya) (QS An-Nahl : 53)
قُلْ إِنَّ الْفَضْلَ بِيَدِ اللَّهِ يُؤْتِيهِ مَنْ يَشَاءُ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ
“Sesungguhnya karunia itu di tangan Allah, Allah memberikan karunia-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha Luas karunia-Nya lagi Maha Mengetahui” (QS Ali ‘Imron : 73)
Jika seluruh kebaikan, kenikmatan, karunia, dan anugerah di dunia dan di akhirat kepada para hambaNya adalah semuanya dari Allah, maka keberkahan (yaitu tetapnya kebaikan dan banyaknya serta bertambahnya kebaikan tersebut) semuanya juga dari Allah. Karenanya Allah mensifati dirinya dengan تَبَارَكَ yang sifat ini tidak boleh kecuali hanya untuk Allah. Dan diantara makna تَبَارَكَ adalah “datangnya seluruh kebaikan hanya dari Allah”
Al-Azhari berkata:
وَقَالَ الزَّجاجُ: تَبَارَكَ: تفَاعل منَ البَرَكةِ، كَذَلِك يقولُ أهل اللغةِ. وَنَحْو ذَلِك رُوِيَ عَن ابْن عباسٍ، وَمعنى البَرَكةِ: الكثرةُ فِي كلِّ خيرٍ
Az-Zajjaaj berkata : تَبَارَكَ adalah atas timbangan تَفَاعَلَ dari البَرَكةِ al-Barokah, demikianlah yang dikatakan oleh pakar bahasa. Dan yang semakna dengan ini juga diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas. Makna al-Barokah adalah “Banyak dalam segala kebaikan”([4])
Allah berfirman:
قِيلَ يَانُوحُ اهْبِطْ بِسَلَامٍ مِنَّا وَبَرَكَاتٍ عَلَيْكَ
Difirmankan: “Hai Nuh, turunlah dengan selamat sejahtera dan penuh keberkahan dari Kami atasmu” (QS Huud : 48)
قَالُوا أَتَعْجَبِينَ مِنْ أَمْرِ اللَّهِ رَحْمَتُ اللَّهِ وَبَرَكَاتُهُ عَلَيْكُمْ أَهْلَ الْبَيْتِ إِنَّهُ حَمِيدٌ مَجِيدٌ
Para malaikat itu berkata: “Apakah kamu merasa heran tentang ketetapan Allah? (Itu adalah) rahmat Allah dan keberkatan-Nya, dicurahkan atas kamu, hai ahlulbait! Sesungguhnya Allah Maha Terpuji lagi Maha Pemurah” (QS Huud : 73)
Ketiga: Allah memberikan keberkahan pada sebagian makhlukNya yang Ia pilih.
Allah berfirman:
وَرَبُّكَ يَخْلُقُ مَا يَشَاءُ وَيَخْتَارُ مَا كَانَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ
Dan Tuhanmu menciptakan apa yang Dia kehendaki dan memilihnya. Sekali-kali tidak ada pilihan bagi mereka. (QS Al-Qoshos : 68)
Karena Allah esa dalam penciptaan maka Allah juga esa dalam memilih, sehingga Allah menafikan pilihan dari makhlukNya. Hanya Allah yang lebih tahu tentang makhlukNya dan siapa saja diantara makhlukNya yang pantas dipilih oleh Allah([5])
Maka makhluk-makhluk yang telah dipilih oleh Allah untuk diberkahi, baik dzat, tempat, ataupun waktu tentu karena makhluk-makhluk tersebut memiliki sifat-sifat khusus yang Allah berikan kepadanya dan tidak terdapat pada makhluk-makhluk yang lainnya. Karena itulah Allah memilih makhluk-makhluk tersebut. ([6])
Allah memberikan keberkahan kepada para nabi
وَبَشَّرْنَاهُ بِإِسْحَاقَ نَبِيًّا مِنَ الصَّالِحِينَ، وَبَارَكْنَا عَلَيْهِ وَعَلَى إِسْحَاقَ وَمِنْ ذُرِّيَّتِهِمَا مُحْسِنٌ وَظَالِمٌ لِنَفْسِهِ مُبِينٌ
Dan Kami beri dia kabar gembira dengan (kelahiran) Ishaq seorang nabi yang termasuk orang-orang yang saleh. Kami limpahkan keberkatan atasnya dan atas Ishaq. Dan diantara anak cucunya ada yang berbuat baik dan ada (pula) yang Zalim terhadap dirinya sendiri dengan nyata (QS As-Shooffaat : 112-113)
قَالَ إِنِّي عَبْدُ اللَّهِ آتَانِيَ الْكِتَابَ وَجَعَلَنِي نَبِيًّا، وَجَعَلَنِي مُبَارَكًا أَيْنَ مَا كُنْتُ
Berkata Isa: “Sesungguhnya aku ini hamba Allah, Dia memberiku Al Kitab (Injil) dan Dia menjadikan aku seorang nabi, dan Dia menjadikan aku seorang yang diberkati di mana saja aku berada (QS Maryam : 30-31)
Demikian juga atas kehendakNya dan hikmahNya, Allah menjadikan sebagian tempat berkah, seperti Mekah, Madinah, dan Masjidil Aqsho.
إِنَّ أَوَّلَ بَيْتٍ وُضِعَ لِلنَّاسِ لَلَّذِي بِبَكَّةَ مُبَارَكًا وَهُدًى لِلْعَالَمِينَ
Sesungguhnya rumah yang mula-mula dibangun untuk (tempat beribadat) manusia, ialah Baitullah di Bakkah (Mekah) yang diberkahi dan menjadi petunjuk bagi semua manusia (QS Ali Imron : 96)
سُبْحَانَ الَّذِي أَسْرَى بِعَبْدِهِ لَيْلًا مِنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ إِلَى الْمَسْجِدِ الْأَقْصَى الَّذِي بَارَكْنَا حَوْلَهُ لِنُرِيَهُ مِنْ آيَاتِنَا إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui (QS Al-Isroo’ : 1)
Begitupun dengan Allah memuliakan sebagian waktu dengan memberkahinya seperti bulan Ramadhan, lailatul Qodar, sepuluh hari awal bulan Dzulhijjah, hari jum’at, dan sepertiga malam yang terakhir.
إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةٍ مُبَارَكَةٍ إِنَّا كُنَّا مُنْذِرِينَ
Sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi (malam lailatul qodar) dan sesungguhnya Kami-lah yang memberi peringatan (QS Ad-Dukhoon : 3)
Demikian juga Allah menjadikan sebagian benda berkah, seperti hujan, makanan sahur, zamzam, kurma ajwa, dan pohon zaitun
وَنَزَّلْنَا مِنَ السَّمَاءِ مَاءً مُبَارَكًا فَأَنْبَتْنَا بِهِ جَنَّاتٍ وَحَبَّ الْحَصِيدِ
Dan Kami turunkan dari langit air yang banyak manfaatnya lalu Kami tumbuhkan dengan air itu pohon-pohon dan biji-biji tanaman yang diketam (QS Qoof: 9)
اللَّهُ نُورُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ مَثَلُ نُورِهِ كَمِشْكَاةٍ فِيهَا مِصْبَاحٌ الْمِصْبَاحُ فِي زُجَاجَةٍ الزُّجَاجَةُ كَأَنَّهَا كَوْكَبٌ دُرِّيٌّ يُوقَدُ مِنْ شَجَرَةٍ مُبَارَكَةٍ زَيْتُونَةٍ لَا شَرْقِيَّةٍ وَلَا غَرْبِيَّةٍ يَكَادُ زَيْتُهَا يُضِيءُ وَلَوْ لَمْ تَمْسَسْهُ نَارٌ
Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. Perumpamaan cahaya Allah adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus yang di dalamnya ada pelita besar. Pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang berkahnya, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah barat(nya), yang minyaknya (saja) hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. (QS An-Nuur : 35)
Allah berfirman:
أَلَمْ تَرَ كَيْفَ ضَرَبَ اللَّهُ مَثَلًا كَلِمَةً طَيِّبَةً كَشَجَرَةٍ طَيِّبَةٍ أَصْلُهَا ثَابِتٌ وَفَرْعُهَا فِي السَّمَاءِ، تُؤْتِي أُكُلَهَا كُلَّ حِينٍ بِإِذْنِ رَبِّهَا
Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya kokoh dan cabangnya (menjulang) ke langit. Pohon itu memberikan buahnya pada setiap musim dengan seizin Tuhannya. Allah membuat perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia supaya mereka selalu ingat (QS Ibrahim : 24-25)
Pohon yang baik yang dijadikan perumpamaan oleh Allah pada ayat ini adalah pohon kurma.([7])
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
إِنَّ مِنَ الشَّجَرِ لَمَا بَرَكَتُهُ كَبَرَكَةِ المُسْلِمِ … هِيَ النَّخْلَةُ
“Sesungguhnya ada sebuah pohon yang keberkahannya seperti keberkahan seorang muslim….yaitu pohon kurma” ([8])
مَنْ تَصَبَّحَ كُلَّ يَوْمٍ سَبْعَ تَمَرَاتٍ عَجْوَةً، لَمْ يَضُرَّهُ فِي ذَلِكَ اليَوْمِ سُمٌّ وَلاَ سِحْرٌ
“Barangsiapa yang dipagi hari (sebelum makan yang lain) memakan 7 butir kurma ‘ajwah maka pada hari itu tidak ada racun dan sihir yang memudorotkannya” ([9])
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
تَسَحَّرُوا فَإِنَّ فِي السَّحُورِ بَرَكَةً
“Bersahurlah karena ada berkah pada makanan sahur” ([10])
إِنَّهَا مُبَارَكَةٌ، إِنَّهَا طَعَامُ طُعْمٍ
“Sesungguhnya air zamzazm berkah dan sesungguhnya air zamzam mengeyangkan” ([11])
Keempat: Keberkahan bisa terbagi menjadi dua, (1) Keberkahan agama dan (2) Keberkahan duniawi. Bahkan ada keberkahan yang mencakup duniawi dan agama (ukhrowi) sekaligus. Seperti al-Qur’an membawa kebaikan dunia dan akhirat, demikian juga taat kepada Nabi membawa keberkahan dunia dan akhirat.
Keberkahan agama murni seperti keberkahan tiga mesjid (Mesjidil Haram, Mesjid Nabawi dan Mesjid al-Aqsho). Keberkahan duniawi murni seperti buah zaitun, susu, hujan, tumbuh-tumbuhan, kambing, dll.
Keberkahan duniawi jika tidak digunakan untuk menjalankan ketaatan kepada Allah, bahkan untuk bermaksiat kepada Allah maka pada hakikatnya bukanlah keberkahan dan anugrah tetapi bencana
Kelima: Keberkahan juga bisa dibagi menjadi dua, (1) Keberkahan secara dzat, dan (2) Keberkahan secara maknawi.
Keberkahan secara dzat seperti keberkahan kurma, zaitun, air zamzam dan juga keberkahan jasad para nabi.
Adapun keberkahan maknawi seperti keberkahan tanah suci Mekah dan Madinah serta masjidil Aqso. Maka keberkahannya diraih bukan dengan mengambil pasir atau tanah dari tempat-tempat tersebut, akan tetapi dengan banyak beribadah di tempat-tempat tersebut. Betapa banyak orang Yahudi dan kaum munafiqin yang tinggal di kota Madinah, akan tetapi mereka tidak meraih keberkahan kota Madinah karena mereka tidak beribadah dengan ibadah yang benar di kota suci Madinah. Sebagaimana dikatakan:
الأَرْضُ الْمُقَدَّسَةُ لاَ تُقَدِّسُ سُكَّانَهَا
“Tanah suci tidak mensucikan penghuninya”
Demikian pula halnya dengan ka’bah, maka keberkahannya bukan pada batunya. Bahkan Umar berkata kepada hajar aswad -yang merupakan batu termulia di dunia- setelah menciumnya:
إِنِّي أَعْلَمُ أَنَّكَ حَجَرٌ، لاَ تَضُرُّ وَلاَ تَنْفَعُ، وَلَوْلاَ أَنِّي رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُقَبِّلُكَ مَا قَبَّلْتُكَ
“Sesungguhya aku tahu engkau adalah batu, tidak bisa memberi kemudorotan dan tidak juga kemanfaatan. Kalau bukan karena aku melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menciummu maka aku tidak akan menciummu” ([12])
Bahkan orang-orang musyrikin dahulu mengganti batu-batu ka’bah yang sudah lama dan usang dengan batu-batu yang baru.
Jadi keberkahan pada hajar aswad adalah tatkala menciumnya bukan pada dzatnya (sebagaimana yang diyakini oleh sebagian orang, seakan-akan siapa yang mencium hajar aswad akan mengalir keberkahan kepadanya), akan tetapi keberkahan maknawi yaitu keberkahan berittiba’ (mengikuti) Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.
Demikian juga keberkahan yang berkaitan dengan waktu, seperti bulan Ramadhan, malam lailatul Qodar, sepuluh hari awal dzulhijjah, sepertiga malam yang terakhir, maka keberkahannya diraih dengan banyak beribadah pada waktu-waktu tersebut. Sehingga keberkahannya adalah maknawi dan bukan secara dzat. Betapa banyak orang kafir, munafiq, ateis, dan juga para pelaku maksiat dari kalangan kaum muslimin yang tidak bisa meraih keberhakan bulan Ramadhan, karena mereka tidak beribadah di bulan suci tersebut. Betapa banyak orang-orang yang menghidupkan malam lailatul qodar, akan tetapi bukan menghidupkannya dengan beribadah, akan tetapi melainkan menghidupkannya dengan maksiat bahkan kufur kepada Allah.
Keenam: Diantara keberkahan secara dzat adalah keberkahan jasad Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Terdapat banyak dalil yang menunjukan bahwa tubuh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam penuh dengan keberkahan, rambut beliau, liur beliau, tubuh beliau, bahkan yang pernah dipakai oleh beliau seperti baju, rida’ (selendang) dan tongkat beliau. Namun hal ini tidak boleh diqiaskan kepada orang-orang shalih, karena:
- Para sahabat tidak pernah saling meminta keberkahan diantara mereka.
- Tidak seorang sahabatpun yang dicari keberkahannya oleh para tabi’in. Padahal di kalangan para sahabat ada 4 khalifah (Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali), para peserta perang Badar, mereka yang membai’at Nabi di bahah sebuah pohon, dll.
- Padahal para tabi’in sangat mengagungkan para sahabat, akan tetapi merekapun tidak mencari berkah sama sekali dari seorang pun sahabat.
- Jika para sahabat yang dijamin masuk surga tidak bisa diqiaskan dengan Nabi, lantas bagaimana lagi dengan orang-orang shalih di zaman sekarang ini yang tidak diketahui bagaimana kondisi akhir kehidupannya.
- Jika para sahabat bisa diqiaskan kepada Nabi maka liur mereka, rambut mereka, tongkat mereka, baju mereka, dll juga semestinya bisa disimpan untuk dicari keberkahannya.
- Jika orang-orang shalih di zaman sekarang juga bisa diqiaskan dengan Nabi maka tentu rambut mereka, liur mereka, baju mereka, tongkat mereka, dll yang pernah mengenai tubuh mereka juga harusnya disimpan untuk dicari keberkahan !!
- Sisi pendalilan pengqiasan antara orang shalih dengan Nabi adalah karena ada ‘illah jami’ah (poin kesamaan yang dijadikan sumber pengqiasan) yaitu keshahilan. Jika keshalihan yang dimaksud adalah sama dalam tingkat/level keshalihan maka siapakah yang keshalihannya bisa disamakan dengan keshalihan Nabi? Jika yang dimaksud adalah ashal/akar keshalihan, maka tentu setiap mukmin punya akar keshalihan, dan ini melazimkan setiap muslim boleh diambil keberkahannya !!.
- Membolehkan mengambil berkah dari orang shalih membuka pintu-pintu yang bisa mengantarkan kepada pengkultusan yang berlebihan kepadanya. Apalagi jika yang melakukannya adalah orang-orang awam yang tidak bisa diarahkan kepada batasan tertentu.
- Membolehkan mengambil berkah dari orang shalih juga menimbulkan fitnah kepada orang shalih tersebut sehingga bisa tertimpa penyakit ujub dan sombong.
Cara yang benar untuk mencari keberkahan dari orang shalih adalah dengan duduk di majelisnya untuk mengambil keberkahan ilmunya, demikian juga meminta nasihatnya, serta meminta keberkahan doanya. Bahkan bermajelis dengan orang-orang shalih yang sedang mengingat Allah merupakan sebab meraih ampunan Allah. Nabi bersabda:
إِنَّ لِلَّهِ مَلاَئِكَةً يَطُوفُونَ فِي الطُّرُقِ يَلْتَمِسُونَ أَهْلَ الذِّكْرِ، فَإِذَا وَجَدُوا قَوْمًا يَذْكُرُونَ اللَّهَ تَنَادَوْا: هَلُمُّوا إِلَى حَاجَتِكُمْ ” قَالَ: «فَيَحُفُّونَهُمْ بِأَجْنِحَتِهِمْ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا» قَالَ: ” فَيَسْأَلُهُمْ رَبُّهُمْ، وَهُوَ أَعْلَمُ مِنْهُمْ، مَا يَقُولُ عِبَادِي؟ قَالُوا: يَقُولُونَ: يُسَبِّحُونَكَ وَيُكَبِّرُونَكَ وَيَحْمَدُونَكَ وَيُمَجِّدُونَكَ ” قَالَ: ” فَيَقُولُ: هَلْ رَأَوْنِي؟ ” قَالَ: ” فَيَقُولُونَ: لاَ وَاللَّهِ مَا رَأَوْكَ؟ ” قَالَ: ” فَيَقُولُ: وَكَيْفَ لَوْ رَأَوْنِي؟ ” قَالَ: ” يَقُولُونَ: لَوْ رَأَوْكَ كَانُوا أَشَدَّ لَكَ عِبَادَةً، وَأَشَدَّ لَكَ تَمْجِيدًا وَتَحْمِيدًا، وَأَكْثَرَ لَكَ تَسْبِيحًا ” قَالَ: ” يَقُولُ: فَمَا يَسْأَلُونِي؟ ” قَالَ: «يَسْأَلُونَكَ الجَنَّةَ» قَالَ: ” يَقُولُ: وَهَلْ رَأَوْهَا؟ ” قَالَ: ” يَقُولُونَ: لاَ وَاللَّهِ يَا رَبِّ مَا رَأَوْهَا ” قَالَ: ” يَقُولُ: فَكَيْفَ لَوْ أَنَّهُمْ رَأَوْهَا؟ ” قَالَ: ” يَقُولُونَ: لَوْ أَنَّهُمْ رَأَوْهَا كَانُوا أَشَدَّ عَلَيْهَا حِرْصًا، وَأَشَدَّ لَهَا طَلَبًا، وَأَعْظَمَ فِيهَا رَغْبَةً، قَالَ: فَمِمَّ يَتَعَوَّذُونَ؟ ” قَالَ: ” يَقُولُونَ: مِنَ النَّارِ ” قَالَ: ” يَقُولُ: وَهَلْ رَأَوْهَا؟ ” قَالَ: ” يَقُولُونَ: لاَ وَاللَّهِ يَا رَبِّ مَا رَأَوْهَا ” قَالَ: ” يَقُولُ: فَكَيْفَ لَوْ رَأَوْهَا؟ ” قَالَ: ” يَقُولُونَ: لَوْ رَأَوْهَا كَانُوا أَشَدَّ مِنْهَا فِرَارًا، وَأَشَدَّ لَهَا مَخَافَةً ” قَالَ: ” فَيَقُولُ: فَأُشْهِدُكُمْ أَنِّي قَدْ غَفَرْتُ لَهُمْ ” قَالَ: ” يَقُولُ مَلَكٌ مِنَ المَلاَئِكَةِ: فِيهِمْ فُلاَنٌ لَيْسَ مِنْهُمْ، إِنَّمَا جَاءَ لِحَاجَةٍ. قَالَ: هُمُ الجُلَسَاءُ لاَ يَشْقَى بِهِمْ جَلِيسُهُمْ “
“Sesungguhnya Allah memiliki para malaikat yang berkeliling di jalan-jalan untuk mencari orang-orang yang berdzikir (mengingat Allah). Jika mereka mendapati suatu kaum mengingat Allah maka mereka saling memanggil, “Kemarilah menuju yang kalian cari”. Lalu mereka meliputi kaum tersebut dengan sayap-sayap mereka hingga ke langit dunia”. Lalu Robb mereka bertanya kepada para malaikat -padahal Ia lebih tahu dari mereka-, “Apakah yang dikatakan oleh hamba-hambaKu?”. Malaikat berkata, “Mereka bertasbih kepadaMu, bertakbir, dan mengagungkanMu”. Allah bertanya, “Apakah mereka melihatKu?”, Malaikat menjawab, “Demi Allah, mereka tidak melihatMu”. Allah berkata, “Bagaimana jika mereka melihatKu?”. Malaikat berkata, “Jika mereka melihatMu tentu mereka akan lebih semangat lagi beribadah, lebih lagi mengagungkanMu, lebih memuji dan bertasbih kepadaMu”. Allah berkata, “Apakah yang mereka minta?”. Malaikat berkata, “Mereka meminta kepadaMu surga”. Allah berkata, “Apakah mereka melihat surga?”. Malaikat berkata, “Demi Allah tidak, mereka tidak melihat surga”. Allah berkata, “Bagaimana kalau mereka melihat surga?”. Kalau mereka melihat surga maka mereka akan lebih semangat mencari surga dan lebih mengharapkannya”. Allah berkata, “Mereka meminta perlindungan dari apa?”. Malaikat berkata, “Dari Neraka”. Allah berkata, “Apakah mereka melihat neraka?”. Malaikat berkata, “Demi Allah tidak, mereka tidak melihatnya”. Allah berkata, “Bagaiamana kalau mereka melihatnya?”. Malaikat berkata, “Kalau mereka melihatnya tentu mereka semakin berlari jauh dan semakin takut darinya”. Allah berkata, “Aku mempersaksikan kalian bahwa sesungguhnya Aku telah mengampuni mereka”. Salah satu malaikat berkata, “Diantara mereka ada si fulan yang bukan dari mereka (tidak ikut berdzikir mengingat Allah-pen), ia datang karena ada keperluan”. Allah berkata, “Mereka adalah kaum yang sedang duduk dimana orang yang duduk bersama mereka tidaklah merugi/celaka bersama mereka” ([13])
Ibnu Hajar berkata, “Orang yang duduk bersama ahli dzikir termasuk mendapatkan seluruh kemuliaan yang Allah berikan kepada para ahli dzikir tersebut sebagai bentuk pemuliaan kepada mereka, meskipun ia tidak ikut serta berdzikir” ([14])
Asy-Syaukani berkata,
جَعَلَ جَلِيْسَ أُولَئِكَ الْقَوْمِ مِثْلَهُمْ مَعَ أَنَّهُ لَيْسَ مِنْهُمْ، وَإِنَّمَا عَادَتْ عَلَيْهِ بَرَكَتُهُمْ فَصَارَ كَوَاحِدٍ مِنْهُمْ
“Allah menjadikan orang yang duduk bersama kaum tersebut seperti mereka, padahal ia bukan termasuk mereka. Hanya saja keberkehan mereka kembali kepadanya, maka jadilah ia seperti salah seorang dari mereka” ([15])
Yang dimaksud dengan majelis dzikir dalam hadits di atas adalah majelis yang mencakup dzikir kepada Allah dengan tasbih, takbir, dan yang lainnya. Demikian juga membaca al-Qur’an, berdoa untuk meraih kebaikan dunia dan akhirat, demikian juga mencakup pembacaan hadits-hadits, mempelajari ilmu syar’i dan diskusi mengenai ilmu syar’i. ([16])
Selain itu, terlalu banyak dalil yang menunjukkan keutamaan untuk bermajelis dan bersahabat dengan kaum sholihin dan para ulama. Jika tidak bisa bersahabat langsung dengan mereka, maka semoga keberkahan mereka bisa diperoleh dengan membaca buku-buku mereka.
Dari sini kita mengetahui bahwa keberkahan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah keberkahan dzat, adapun keberkahan para ulama adalah keberkahan maknawi bukan secara dzat.
Dari sisi ini (keberkahan makna) maka setiap muslim bisa menjadi berkah, sebagaimana sabada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
إِنَّ مِنَ الشَّجَرِ لَمَا بَرَكَتُهُ كَبَرَكَةِ المُسْلِمِ… هِيَ النَّخْلَةُ
“Sesungguhnya diantara pepohonan ada sebuah pohon yang keberkahannya seperti keberkahan seorang muslim, yaitu pohon kurma” ([17])
Maksudnya yaitu pohon korma berberkah dan bermanfaat pada seluruh bagian pohonnya, batangnya, daunnya, buahnya, bahkan bijinya. Demikianlah hendaknya seorang muslim, keberkahannya mencakup seluruh kondisinya, dan manfaatnya berkesinambungan bagi dirinya dan bagi orang lain, bahkan setelah meninggalnya dengan ilmu dan harta wakafnya([18])
Karenanya Usaid bin Al-Hudair berkata kepada Aisyah:
مَا هِيَ بِأَوَّلِ بَرَكَتِكُمْ يَا آلَ أَبِي بَكْرٍ
“Ini bukanlah keberkahan kalian yang pertama kali wahai keluarga Abu Bakr” ([19])
Semua keberkahan ini (keberkahan seorang muslim demikian juga keberkahan keluarga Abu Bakar) bukanlah keberkahan dzat akan tetapi keberkahan maknawi, keberkahan karena amal dan iman. ([20])
Ketujuh: Maksud Perkataan penulis “Bab : Barangsiapa yang mencari berkah dengan pohon atau batu atau yang semisalnya”, adalah : Bagaimana hukum mencari berkah dengan pohon dan batu? Hukumnya adalah musyrik. Kemudian perkataan penulis “atau yang semisalnya” mencakup semua perkara yang tidak disyari’atkan untuk dicari keberkahan darinya, seperti mengusap kuburan, dll.
Karena mencari keberkan adalah ibadah, sehingga tidak boleh mencari keberkahan (kebaikan yang banyak dan menetap) kepada selain Allah atau pada perkara-perkara yang tidak diizinkan oleh Allah.
At-Tabarruk -dengan yang tidak syar’i- bisa jadi merupakan syirik kecil dan bisa jadi syirik akbar. Syirik kecil apabila seseorang mencari keberkahan dengan keyakinan bahwa benda-benda tersebut hanyalah sebab yang Allah alirkan keberkahan melalui benda-benda tersebut. Persis seperti keyakinan orang-orang yang memakai jimat, yaitu meyakini bahwa jimat tersebut hanya sebab dan keberhasilan dari Allah.
Namun menjadi syirik akbar jika ia meyakini bahwa dengan menempelkan tangannya baik itu di kuburan, batu, pohon, ataupun dengan nongkrong di kuburan, semua itu diyakini mendekatkan dirinya kepada Allah dan bukan hanya sekedar mendapatkan keberkahan tapi juga mendekatkan diri kepada Allah, maka kuburan tersebut, atau penghuni kuburan tersebut, ataupun tempat berkah tersebut telah dijadikan tandingan bagi Allah.
Dalam bab ini penulis membawakan dua dalil
Dalil Pertama:
Firman Allah ﷻ:
أَفَرَأَيْتُمُ اللَّاتَ وَالْعُزَّى، وَمَنَاةَ الثَّالِثَةَ الْأُخْرَى، أَلَكُمُ الذَّكَرُ وَلَهُ الْأُنْثَى، تِلْكَ إِذًا قِسْمَةٌ ضِيزَى، إِنْ هِيَ إِلَّا أَسْمَاءٌ سَمَّيْتُمُوهَا أَنْتُمْ وَآبَاؤُكُمْ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ بِهَا مِنْ سُلْطَانٍ إِنْ يَتَّبِعُونَ إِلَّا الظَّنَّ وَمَا تَهْوَى الْأَنْفُسُ وَلَقَدْ جَاءَهُمْ مِنْ رَبِّهِمُ الْهُدَى
“Maka apakah patut kalian (hai orang-orang musyrik) menganggap Al lata dan Al Uzza dan Manat yang ketiga. Apakah (patut) untuk kamu (anak) laki- laki dan untuk Allah (anak) perempuan? yang demikian itu tentulah suatu pembagian yang tidak adil. Itu tidak lain hanyalah nama-nama yang diada-adakan oleh kamu dan bapak-bapak kamu; Allah tidak menurunkan suatu keteranganpun untuk (menyembah)nya. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti sangkaa-sangkaan dan apa yang diingini oleh hawa nafsu mereka; padahal sesungguhnya tidak datang kepada mereka petunjuk dari Tuhan mereka.” (QS. An Najm: 19-23).
Al-Laata, Al-Uzza dan Manat adalah nama berhala-berhala yang dipuja orang arab jahiliyah.
Adapun اللَّاتَ (dengan tanpa mentasydid huruf ت) adalah sebuah batu putih yang dipahat serta dibangunkan rumah padanya dengan sitar/kain yang menutupinya dan ada sadanah-nya (para juru kuncinya). Al-Laata diagungkan di kota Thoif oleh kabilah Ats-Tsaqiif. ([21]). Dalam sebagian qiroah dibaca dengan mentasydid huruf ت yaitu اللاَّتَّ, diambil dari nama seorang yang baik yang kerjaannya membuat adonan makanan untuk dibagi-bagikan kepada jama’ah haji. Ibnu Abbas berkata:
كَانَ اللَّاتُ رَجُلًا يَلُتُّ سَوِيقَ الحَاجِّ
“Al-Laata adalah seorang lelaki yang melembutkan adonan gandum untuk jama’ah haji” ([22])
Ada yang berpendapat bahwa nama aslinya Al-Laata adalah عَامِرُ بْنُ الظَّرِبِ yang merupakan penguasa Arab pada zamannya yang jika mengeluarkan keputusan maka tidak bisa dibatalkan([23])
Mujahid berkata:
كَانَ يَلُتُّ السَّوِيقَ فَمَاتَ، فَعَكَفُوا عَلَى قَبْرِهِ
“Al-Laata dahulu melembutkan adonan (roti) lalu ia meninggal, kemudian merekapun menetap (beribadat) di kuburannya” ([24])
Adapun al-‘Uzza, yaitu pohon yang dibangunkan rumah padanya serta diberikan sitar/kain, terletak di Nakhlah (antara kota Madinah dan Mekah) dan diagungkan oleh kaum Quraisy ([25]). Mujahid berkata:
الْعُزَّى: شُجَيْرَاتٌ
“Al-‘Uzzaa adalah pohon-pohon kecil” ([26])
Adapun al-Manaat adalah berhala yang terletak di al-Musyallal di Qudaid (yang terletak anta Mekah dan Madinah) dan diagungkan oleh kabilah al-Khuza’ah, al-Aus, dan al-Khozroj.
Hisyaam bin Al-Kalbiy berkata:
كَانَتْ مَنَاةٌ أَقْدَمُ مِنَ اللَّاتِ فَهَدَمَهَا عَلِيٌّ عَامَ الْفَتْحِ بِأَمْرِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَكَانَتِ اللَّاتُ أَحْدَثُ مِنْ مَنَاةَ فَهَدَمَهَا الْمُغِيرَةُ بْنُ شُعْبَةَ بِأَمْرِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِمَا أَسْلَمَتْ ثَقِيفٌ وَكَانَتِ الْعُزَّى أَحْدَثُ مِنَ اللَّاتِ … بِوَادِي نَخْلَةَ فَوْقَ ذَاتِ عِرْقٍ فَهَدَمَهَا خَالِدُ بْنُ الْوَلِيدِ بِأَمْرِ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَامَ الْفَتْحِ
“Berhala Manaat lebih dahulu dari pada Al-Laata. Ali lalu menghancurkan al-Manaat atas perintah Nabi tatkala tahun penaklukan kota Mekah. Al-Laata lebih baru daripada al-Manaat dan dihancurkan oleh al-Mughiroh bin Syu’bah atas perintah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tatkala kabilah Tsaqiif masuk Islam. Berhala al-‘Uzza lebih baru daripada berhala Al-Laatta, letaknya di lembah Nakhlah di atas Dzatu ‘Irq, berhala ini dihancurkan oleh Kholid bin Al-Waliid atas perintah Nabi di tahun penaklukan kota Mekah” ([27])
Sebenarnya masih banyak berhala-berhala yang lain yang diagungkan oleh kaum Arab jahiliyah sehingga memiliki sadanah (juru kucinya), akan tetapi ketiga berhala inilah (Al-Laata, al-‘Uzza dan Manaat) yang paling terkenal diantara berhala-berhala yang lain. ([28])
Nama ketiga berhala tersebut dinamakan oleh kaum musyrikin dengan mengambil nama-nama Allah akan tetapi di ta’nits-kan. Al-Laata berasal dari Allah, al-Uzza berasal dari al-‘Aziz, dan Manaat berasal dari al-Mannaan, namun ada yang mengatakan disebut dengan al-Manaat karena لكثرة م يُمْنَى – أي يراق – عندها من الدماء للتبرك بها begitu banyak darah yang ditumpahkan di sisinya untuk mencari keberkahan ([29])
Mereka menyangka bahwa berhala-berhala tersebut adalah putri-putri Allah. Sementara mereka sendiri tidak suka anak-anak perempuan bahkan sampai membunuh anak-anak perempuan mereka, lantas mereka menisbahkan kepada Allah anak-anak perempuan?!. ([30])
Adapun sisi pendalilan penulis dari ayat-ayat ini adalah bahwasanya berhala-berhala tersebut dalam berbagai bentuk, ada yang berbentuk batu (seperti Manaat), ada yang berupa kuburan (sebagaimana berhala al-Laata jika dibaca dengan mentasydid huruf ت ), dan ada juga yang berupa pohon (sebagaimana berhala al-‘Uzza). Barangsiapa yang mencari-cari keberkahan pada pohon, batu, dan yang semisalnya, sesungguhnya perbuatannya mirip dengan kebiasaan kaum musyrikin yang mencari-cari keberkahan di berhala-berhala tersebut. Padahal semuanya tidak bisa mendatangkan kemanfaatan dan mudorot.
Dalam ayat ini, Allah ﷻ menyangkal tindakan kaum musyrikin yang tidak rasional, karena mereka menyembah ketiga berhala yang tidak dapat mendatangkan manfaat dan tidak pula dapat menolak madharat. Allah mencela tindakan dzalim mereka, karena memilih untuk diri mereka sendiri jenis yang baik, dan memberikan untuk Allah jenis yang buruk dalam anggapan mereka. Tindakan mereka itu semua hanyalah berdasarkan sangkaan- sangkaan dan hawa nafsu, tidak berdasarkan tuntunan para Rasul yang mengajak umat manusia untuk beribadah hanya kepada Allah dan tidak beribadah kepada selain-Nya.
Oleh karena itu, bab ini (larangan bertabarruk kepada pohon dan batu) adalah penyempurna dari dua bab sebelumnya (tentang larangan memakai jimat) yaitu sama-sama menjelaskan tentang menjadikan sesuatu yang bukan sebab sebagai sebab untuk mendatangkan kebaikan. Dari sini bisa diperinci, jika seseorang hanya mencari keberkahan dari batu, pohon, kuburan, batu akik dan yang semisalnya maka hukum asalnya ada syirik kecil. Adapun jika selain itu disertai dengan bentuk ibadah untuk mendekatkan diri kepada Allah melalui tabarruk (mengusap-ngusap dan yang semisalnya) maka ini merupakan syirik besar karena menjadikan kuburan atau batu atau pohon tersebut sebagai tandingan bagi Allah yang dianggap perantara atau pemberi syafaat di sisi Allah. Oleh karena itu, berbeda antara tabarruknya sebagian saudara kita di kuburan -dengan mengambil tanah dan mengusap kuburan- (yang pada asalnya adalah syirik kecil) dengan model tabarruknya kaum syi’ah terhadap kuburan al-Husain di Karbala (yang disertai bentuk mendekatkan diri kepada Allah, sehingga ini merupakan syirik besar).
Dalil Kedua:
Abi Waqid Al Laitsi menuturkan: “Suatu saat kami keluar bersama Rasulullah menuju Hunain, sedangkan kami dalam keadaan baru saja lepas dari kekafiran (masuk Islam), disaat itu orang-orang musyrik memiliki sepokok pohon bidara yang dikenal dengan Dzatu Anwath, mereka selalu mendatanginya/berdiam dan menggantungkan senjata-senjata perang mereka pada pohon tersebut, di saat kami sedang melewati pohon bidara tersebut, kami berkata: “ya Rasulullah, buatkanlah untuk kami Dzatu anwath sebagaimana mereka memilikinya”. Maka Rasulullah ﷺ menjawab:
((اللهُ أَكْبَرُ إِنَّهَا السُّنَنُ، قُلْتُمْ وَالَّذِيْ نَفْسِيْ بِيَدِهِ كَمَا قَالَتْ بَنُو إِسْرَائِيْلَ لِمُوْسَى âاجْعَلْ لَنَا إِلَهًا كَمَا لَهُمْ آلِهَةٌ قَالَ إِنَّكُمْ قَوْمٌ تَجْهَلُونَá لَتَرْكَبُنَّ سُنَنَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ))
“Allahu Akbar, itulah tradisi (orang-orang sebelum kalian) demi Allah yang jiwaku ada di tangan-Nya, kalian benar-benar telah mengatakan suatu perkataan seperti yang dikatakan oleh Bani Israel kepada Musa: “buatkanlah untuk kami sesembahan sebagaimana mereka memiliki sesembahan, Musa menjawab: sungguh kalian adalah kaum yang tidak mengerti (faham)” kalian pasti akan mengikuti tradisi orang-orang sebelum kalian.”(HR. Turmudzi, dan dia menshahihkannya).
Hadits Abu Waqid al-Laitsi tentang pohon Dzatu Anwaat.
Keyakinan kaum musyrikin terhadap pohon tersebut mencakup tiga perkara:
- Mereka mengagungkan pohon tersebut
- Mereka menetap di pohon tersebut (untuk beribadah)
- Mereka menggantungkan senjata-senjata mereka (pedang dan panah) di pohon tersebut dalam rangka mencari keberkahan agar keberkahannya berpindah dari pohon ke senjata-senjata mereka. Yaitu agar pedangnya lebih tajam dan agar mereka lebih kuat dalam menggunakan pedang-pedang mereka.
Perbuatan mereka ini merupakan syirik akbar karena ‘ukuf (menetapi/melazimi sesuatu dengan bentuk pengagungan dan mendekatkan diri) adalah ibadah, karenanya mereka mencari keberkahan dari pohon tersebut. Lantaran terkumpul pada mereka tiga perkara ini maka mereka telah terjerumus dalam syirik akbar.
Sebagian sahabat -karena baru saja masuk Islam- kemudian meminta kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam agar membuatkan bagi mereka seperti pohon milik kaum musyrikin. Para sahabat tidak menyangka bahwa permintaan mereka tersebut merupakan kesyirikan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menegur mereka dengan keras dan menyamakan perkataan (permintaan) para sahabat seperti perkataan kaum Nabi Musa ‘alaihis salam kepada Musa “Buatkanlah bagi kami sesembahan sebagaimana bagi mereka (kaum musyrikin yang menyembah berhala) memliki sesembahan”. Tentu saja para sahabat Nabi maupun sahabat Nabi Musa tidak menyembah selain Allah, sementara mereka (kaum musyrikin di zaman Nabi Musa dan Nabi Muhammad) menyembah berhala selain Allah. Maka Nabi menyamakan perkataan para sahabat dengan perkataan kaum Nabi Musa. Mereka hanya meminta, dan setelah ditegur akhirnya mereka meninggalkan apa yang mereka minta. Seandainya mereka melakukan apa yang mereka minta -untuk memiliki seperti pohon Dzatu Anwat- niscaya mereka akan terjerumus dalam syirik besar.
Secara Dzhohir bahwasanya kaum musyrikin terjerumus dalam syirik akbar bukan hanya sekedar bertabarruk dengan pohon Dzatu Anwat, akan tetapi karena disertai pengagungan terhadap pohon tersebut seakan-akan pohon tersebut ada ruhnya yang bisa mendekatkan mereka kepada Allah. Dan ini sama dengan berhala al-Uzza yang berbentuk pepohonan, yang tatkala ditebang oleh Kholid bin Al-Waliid ternyata ada jin yang menempati pohon tersebut.
Hal ini mirip sekali dengan orang-orang yang mengusap-ngusap kuburan atau besi-besi dinding/pagar kuburan dengan keyakinan bahwa penghuni kubur tersebut bisa mendatangkan manfaat dan menolak mudorot, dan dengan mengusap-ngusapnya akan mendekatkan diri mereka kepada Allah, maka inilah syirik besar.
Lain halnya yang dilakukan oleh sebagian orang jahil yang mengusap pintu-pintu masjidil harom atau mesjid nabawi dengan niat sekedar mencari keberkahan dari mesjid al-Harom atau mesjid Nabawi, perbuatan seperti ini hanyalah syirik kecil. Lain halnya jika mereka meyakini bahwa pada tiang mesjid ada ruh orang sholeh atau tiang tersebut dibangun di atas kuburan orang sholeh, dan dengan mengusap tiang tersebut maka ruh orang sholeh tersebut akan memberikan manfaat atau menolak mudhorot, tentu ini adalah syirik besar. ([31])
Faidah hadits ini:
Buruknya kejahilan/kebodohan, karena Abu Waqid Al-Laitsi baru saja masuk Islam dan belum sempat mempelajari aqidah dengan lebih detail, akhirnya ia meminta sesuatu kepada Nabi yang ternyata merupakan kesyirikan. Hal seperti inilah yang membuat semakin ditekankannya pentingnya belajar aqidah dan juga mempelajari tentang kesyirikan untuk dijauhi. Tidaklah para penyembah kubur terjerumus ke dalam kesyirikan kecuali karena kejahilan. Banyak diantara mereka justru menyangka bahwa meminta kepada penghuni kubur adalah bagian dari agama !!.
Yang menjadi tolok ukur adalah hakikat bukan penamaan. Sebagian sahabat berkata kepada Nabi “Ya Rasulullah jadikanlah untuk kami Dzatu Anwaat…”, mereka tidak menamakan Dzatu Anwat dengan sesembahan, akan tetapi Nabi tetap menyamakannya dengan perkataan bani Israil kepada Musa, “Jadikanlah bagi kami sesembahan…”. Karenanya sebagian penyembah kubur yang meminta-minta kepada penghuni kubur menamakan perbuatan mereka dengan nama yang indah yaitu “tawassul” atau “Kecintaan terhadap para wali”, namun pada hakikatnya adalah kesyirikan. Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah mengabarkan bahwasanya kuburan bisa menjadi sesembahan, beliau bersabda:
اللَّهُمَّ لاَ تَجْعَلْ قَبْرِى وَثَناً، لَعَنَ الله قَوْماً اتَّخَذُوا قُبُورَ أَنْبِيَائِهِمْ مَسَاجِدَ
“Ya Allah janganlah Engkau jadikan kuburanku berhala, Allah melaknat suatu kaum yang menjadikan kuburan nabi-nabi mereka sebagai masjid” ([32])
Ini menunjukkan bahwa mencari keberkahan dengan kuburan adalah menjadikannya sebagai berhala yang disembah selain Allah. Hal ini semakin dikuatkan dengan:
- Sesungguhnya permohonan para sahabat kepada Nabi untuk dibuatkan Dzatu Anwaat adalah syirik kecil, karena tujuan mereka hanya sekedar untuk mencari keberkahan bukan untuk menyembah pohon tersebut, karena mereka baru saja meninggalkan kekufuran (penyembahan terhadap berhala patung, batu dan pohon). Sehingga Nabi tidak menyuruh mereka untuk memperbarui Islam mereka. Akan tetapi tetap saja Nabi menyamakan permohonan mereka ini dengan perkataan bani Isra’il kepada Musa, “Jadikanlah untuk kami sesembahan….”
- Bolehnya berdalil dengan ayat yang berkaitan dengan syirik akbar untuk mengingkari syirik kecil, karena perkataan kaum Musa yang memohon syirik akbar “Jadikanlah bagi kami sesembahan…” (yaitu memohon berhala untuk disembah) dijadikan dalil oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam untuk mengingkari perkataan para sahabat yang memohon syirik kecil
- Harus mengembalikan segala perkara agama kepada timbangan al-Qur’an dan Hadits. Karena Abu Waqid dan para sahabatnya merasa bahwa membuat saingan bagi Dzatu Anwaat adalah perbuatan yang baik dalam rangka mencai keberkahan, namun ternyata Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengingikarinya dengan keras. Oleh karena itu, tidak semua perkara yang sekilas kelihatan baik itu juga baik menurut syari’at.
- Niat yang baik tidak serta merta menjadikan suatu perbuatan menjadi baik. Para sahabat tatkala meminta dibuatkan Dzatu Anwat tujuannya sangat mulia yaitu untuk menjadikan pedang-pedang mereka semakin ampuh agar bisa semakin bermanfaat dalam berjihad. Akan tetapi niat yang baik ini tidaklah cukup untuk mengubah kesyirikan menjadi kebaikan.
- Mencari keberkahan dari pohon Dzatu Anwat yang dilakukan oleh kaum musyrikin di zaman Nabi disamakan oleh beliau seperti mencari keberkahan terhadap berhala yang dilakukan oleh kaum musyrikin di zaman Nabi Musa. Tidak ada bedanya antara bentuk pohon dan bentuk patung.
- Orang yang baru saja terlepas (bertaubat) baik dari kesyirikan, kekufuran, kemaksiatan, dikhawatirkan masih ada sisa-sisa kekufuran atau kesyirikan dalam pemikirannya. Oleh karena itu, Abu Waqid Al-Laitsi berkata وَنَحْنُ حُدَثَاءُ عَهْدٍ بِكُفْرٍ “Dan kami baru saja meninggalkan kekufuran”.
- Bahayanya sering berinteraksi dengan kaum musyrikin sehingga mengakibatkan sebagian pemikiran mereka dan kebiasaan/tradisi mereka tertanam di kaum muslimin. Karenanya kaum Nabi Musa yang baru saja diselamatkan oleh Allah dari kejaran Fir’aun dan bala tentaranya, yang baru saja menyaksikan mukjizat tongkatnya Nabi Musa dan terbelahnya lautan, begitu selamat dari melintasi laut merah dan melihat kaum musyrikin menyembah berhala, maka merekapun minta kepada Musa untuk dibuatkan berhala. Allah berfirman):
وَجَاوَزْنَا بِبَنِي إِسْرَائِيلَ الْبَحْرَ فَأَتَوْا عَلَى قَوْمٍ يَعْكُفُونَ عَلَى أَصْنَامٍ لَهُمْ قَالُوا يَامُوسَى اجْعَلْ لَنَا إِلَهًا كَمَا لَهُمْ آلِهَةٌ قَالَ إِنَّكُمْ قَوْمٌ تَجْهَلُونَ، إِنَّ هَؤُلَاءِ مُتَبَّرٌ مَا هُمْ فِيهِ وَبَاطِلٌ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ، قَالَ أَغَيْرَ اللَّهِ أَبْغِيكُمْ إِلَهًا وَهُوَ فَضَّلَكُمْ عَلَى الْعَالَمِينَ
Dan Kami seberangkan Bani Israil ke seberang lautan itu, maka setelah mereka sampai kepada suatu kaum yang tetap menyembah berhala mereka, Bani lsrail berkata: “Hai Musa. buatlah untuk kami sebuah tuhan (berhala) sebagaimana mereka mempunyai beberapa tuhan (berhala)”. Musa menjawab: “Sesungguh-nya kamu ini adalah kaum yang tidak mengetahui (sifat-sifat Tuhan)”. Sesungguhnya mereka itu akan dihancurkan kepercayaan yang dianutnya dan akan batal apa yang seIalu mereka kerjakan. Musa menjawab: “Patutkah aku mencari Tuhan untuk kamu yang selain dari pada Allah, padahal Dialah yang telah melebihkan kamu atas segala umat (QA Al-A’raaf : 138-140)
Sebagian ulama menyebutkan bahwasanya hal ini tidak lain karena terlalu lamanya kaum Musa bertetangga dengan kaum musyrikin di Mesir (para pengikut Fir’aun), terlebih lagi status mereka adalah terjajah dan diperbudak. Hal ini menjadikan sebagian pemahaman-pemahaman kesyirikan masuk dalam pemahaman mereka kemudian mengakar kuat.
Demikian juga sebagian kaum Anshor masih saja terpengaruh dengan sebagian khurofatnya orang Yahudi yang merupakan tetangga lama mereka di kota Madinah. Diantaranya khurofat bahwa jika seorang lelaki mendatangi istrinya dari arah belakang maka anaknya akan lahir dalam kondisi juling. Yang membuat mereka menanyakan hal ini kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.
Kandungan dalam bab ini:
- Penjelasan tentang ayat yang terdapat dalam surat An Najm.
- Mengetahui bentuk permintaan mereka ([33]).
- Mereka belum melakukan apa yang mereka minta.
- Mereka melakukan itu semua untuk mendekatkan diri mereka kepada Allah, karena mereka beranggapan bahwa Allah menyukai perbuatan itu.
- Apabila mereka tidak mengerti hal ini, maka selain mereka lebih tidak mengerti lagi.
- Mereka memiliki kebaikan-kebaikan dan jaminan maghfirah (untuk diampuni) yang tidak dimiliki oleh orang-orang selain mereka.
- Nabi Muhammad ﷺ tidak menerima alasan mereka, bahkan menyanggahnya dengan sabdanya: “Allahu Akbar, sungguh itu adalah tradisi orang-orang sebelum kalian dan kalian akan mengikuti mereka”. Beliau bersikap keras terhadap permintaan mereka itu dengan ketiga kalimat ini.
- Satu hal yang sangat penting adalah pemberitahuan dari Rasulullah ﷺ bahwa permintaan mereka itu persis seperti permintaan Bani Israel kepada nabi Musa: “buatkanlah untuk kami sesembahan sebagaimana mereka mempunyai sesembahan-sesembahan …”
- Pengingkaran terhadap hal tersebut adalah termasuk di antara pengertian لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ yang sebenarnya, yang belum difahami oleh mereka yang baru masuk Islam.
- Rasulullah ﷺ menggunakan sumpah dalam menyampaikan petunjuknya, dan beliau tidak berbuat demikian kecuali untuk kemaslahatan.
- Syirik itu ada yang besar dan ada yang kecil, buktinya mereka tidak dianggap murtad dengan permintaannya itu. ([34])
- Perkataan mereka:“…sedang kami dalam keadaan baru saja lepas dari kekafiran (masuk islam) …” menunjukan bahwa para sahabat yang lain mengerti bahwa perbuatan mereka termasuk syirik.
- Diperbolehkan bertakbir ketika merasa terperanjat, atau mendengar sesuatu yang tidak patut diucapkan dalam agama, berlainan dengan pendapat orang yang menganggapnya makruh.
- Diperintahkan menutup pintu yang menuju kemusyrikan.
- Dilarang meniru dan melakukan suatu perbuatan yang menyerupai perbuatan orang-orang Jahiliyah. ([35])
- Boleh marah ketika menyampaikan pelajaran.
- Kaidah umum, bahwa di antara umat ini ada yang mengikuti tradisi-tradisi umat sebelumnya, berdasarkan Sabda Nabi “itulah tradisi orang orang sebelum kamu … dst”
- Ini adalah salah satu dari tanda kenabian Nabi Muhammad, karena terjadi sebagaimana yang beliau kabarkan.
- Celaan Allah yang ditujukan kepada orang Yahudi dan Nasrani, yang terdapat dalam Al qur’an berlaku juga untuk kita.
- Sudah menjadi ketentuan umum di kalangan para sahabat, bahwa ibadah itu harus berdasarkan perintah Allah [bukan mengikuti keinginan, pikiran atau hawa nafsu sendiri]. Dengan demikian, hadits di atas mengandung suatu isyarat tentang hal-hal yang akan ditanyakan kepada manusia di alam kubur. Adapun “Siapakah Tuhanmu? sudah jelas; sedangkan “Siapakah Nabimu? berdasarkan keterangan masalah-masalah ghaib yang beliau beritakan akan terjadi; dan “Apakah agamamu? berdasarkan pada ucapan mereka: “buatkanlah untuk kami sesembahan sebagaimana mereka itu mempunyai sesembahan-sesembahan … dst”
- Tradisi orang-orang ahli kitab itu tercela seperti tradisinya orang-orang musyrik.
- Orang yang baru saja pindah dari tradisi-tradisi batil yang sudah menjadi kebiasaan dalam dirinya, tidak bisa dipastikan secara mutlak bahwa dirinya terbebas dari sisa-sisa tradisi tersebut, sebagai buktinya mereka mengatakan: “kami baru saja masuk islam” dan merekapun belum terlepas dari tradis- tradisi kafir, karena kenyataannya mereka meminta dibuatkan Dzatu Anwath sebagaimana yang dipunyai oleh kaum musyrikin.
Artikel ini penggalan dari Buku Syarah Kitab Tauhid Karya Ustadz DR. Firanda Andirja, Lc. MA.
______
Footnote:
([1]) Mu’jam Moqooyiis al-Lughoh 1/227
([2]) Mu’jam Moqooyiis al-Lughoh 1/230
([3]) Tafsir At-Thobari 5/304
([4]) Tahdziib Al-Lugoh 10/130
([5]) Lihat penjelasan Ibnul Qoyyim dalam Zaadul Ma’aad 1/39
([6]) Lihat penjelasan Ibnul Qoyyim dalam Zaadul Ma’aad 1/53
([7]) Ini adalah pendapat Anas bin Malik, Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhum, Masruq, ‘Ikrimah, Ad-Dhohhak, Qotadah, Lihat Tafsir At-Thobari 13/636-641
([8]) HR Al-Bukhari No. 5444
([9]) HR Al-Bukhari no 5445 dan Muslim no 2047
([10]) HR Al-Bukhari No. 1923 dan Muslim no 1095
([11]) HR Muslim no 2473
([12]) HR Al-Bukhari No. 1597 dan Muslim No. 1270
([13]) HR Al-Bukhari No. 6408 dan Muslim No. 2689
([14]) Fathul Baari 11/213
([15]) Tuhfatudz Dzaakiriin hal 44
([16]) Lihat penjelasan Ibnu Hajar di Fathul Baari 11/212
([17]) HR Al-Bukhari No. 5444
([18]) Lihat Fathul Baari 1/145-146
([19]) HR Al-Bukhari No. 3672 dan Muslim No. 367
([20]) Lihat At-Tamhiid hal 127
([21]) Lihat Tafsir Ibnu Katsir 7/455
([22]) HR Al-Bukhari No. 4859
([23]) Lihat Fathul Baari 8/612
([24]) Tafsir At-Thobari 22/48
([25]) Tafsir Ibnu Katsir 7/455
([26]) Tafsir At-Thobari 22/49
([27]) Sebagaimana dinukil oleh Ibnu Hajar dalam Fathul Baari 8/612
([28]) Lihat Tafsir Ibnu Katsir 7/456
([29]) Fathul Majiid hal 135)
([30]) Lihat Tafsir At-Thobari 22/46
([31]) Lihat At-Tamhiid hal 135
([32]) HR Ahmad no 7358 dengan sanad yang shahih
([33]) Yaitu: mereka meminta dibuatkan Dzatu Anwath sebagaimana yang dimiliki oleh kaum musyrikin, untuk diharapkan berkahnya, bukan untuk menyembahnya -sebagaimana telah berlalu-
([34]) Sebagaimana telah lalu bahwasanya permohonan para sahabat untuk dibuatkan Dzatu Anwat adalah sekedar untuk diharapkan berkahnya, bukan untuk menyembahnya. Perbuatan ini merupakan syirik kecil dan bukan syirik akbar.
([35]) Tasyabbuh (meniru-niru orang kafir) yang haram adalah jika meniru-niru mereka pada:
- Perkara-perkara yang tidak bermanfaat
- Tradisi mereka yang merupakan ciri khas mereka
- Perkara-perkara yang merupakan ritual keagamaan mereka.
Adapun meniru-niru mereka pada perkara-perkara yang bermanfaat maka hal tentu dibolehkan. Allah berfirman:
قُلْ مَنْ حَرَّمَ زِينَةَ اللَّهِ الَّتِي أَخْرَجَ لِعِبَادِهِ وَالطَّيِّبَاتِ مِنَ الرِّزْقِ قُلْ هِيَ لِلَّذِينَ آمَنُوا فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا خَالِصَةً يَوْمَ الْقِيَامَةِ كَذَلِكَ نُفَصِّلُ الْآيَاتِ لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ
Katakanlah: “Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan (siapa pulakah yang mengharamkan) rezeki yang baik?” Katakanlah: “Semuanya itu (disediakan) bagi orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia, khusus (untuk mereka saja) di hari kiamat”. Demikianlah Kami menjelaskan ayat-ayat itu bagi orang-orang yang mengetahui (QS Al-A’raaf : 32)
Ayat ini menunjukan bahwa segala kebaikan pada asalnya disediakan oleh Allah untuk orang-orang yang beriman.
Oleh karena itu, Nabi memakai cincin mengikuti tradisi para raja untuk dijadikan stempel tatkala menulis surat-surat resmi, karena hal ini bermanfaat. Demikian juga diriwayatkan -dengan sanad yang lemah- bahwa Nabi membuat khondak (parit) tatkala perang khondak karena ide dari Salman Al-Farisi yang menjelaskan bahwa membuat khondak adalah salah satu taktik perang yang dilakukan oleh kaum Majusi -para penyembah api- tatkala mereka terkepung.
Sumber: https://bekalislam.firanda.com/